KORANRIAU.co-Perihal agama dan sains, belakangan hari di negeri ini ramai diperbincangkan, dikotomi kedua hal tersebut seolah benar adanya dan dianggap "sudah begitu dari sananya". Perbincangan itu sendiri terjadi karena tak sedikit orang dari berbagai kalangan yang menganggap bahwa salah satu dari keduanya menjadi penghambat dalam perkembangan suatu peradaban umat manusia. Dan, ketika berbicara perihal maju-mundurnya suatu peradaban umat manusia, masyarakat Muslim mendapat label "dekadensi" (kemunduran), yang hari ini sedang tersaruk-saruk untuk bangkit mengikuti arus modernisasi yang begitu derasnya.
Setidaknya itulah yang disampaikan secara implisit oleh Samuel P.Huntington. Kendatipun benar begitu adanya, lantas penyebab apa yang membuat Muslim (yang pemeluknya terbesar kedua di dunia) mengalami kemunduran?
Perspektif Sejarah
Setelah 11 September 2001, media dunia kerap melaporkan para pelaku Muslim dalam terorisme, konflik kecil, dan peperangan. Hal tersebut tidak dapat dianggap hanya sensasionalisme jurnalistik belaka; sebagian masyarakat dunia menganggap bahwa Muslim layaknya kaum barbar yang tertinggal zaman dan gemar melakukan kekerasan.
Semua masalah yang terjadi di negara mayoritas Muslim hari ini cukup membingungkan, terutama mengingat pencapaian keilmuan dan sosioekonomi masyarakat Muslim di abad ke-8 dan ke-12 yang mampu melahirkan sumbangsih sangat besar terhadap dunia melalui karya-karya dari ilmuwan seperti Farabi, Khawarizmi, Biruni, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dll.
Terjadinya dekadensi dalam segala hal di tubuh Muslim hari ini memunculkan beberapa spekulasi jawaban akan penyebab hal tersebut. Dan yang mafhum di banyak kalangan adalah hasil dari dua pendekatan, yaitu, pertama pendekatan esensialis, yang menunjuk bahwa Islam sebagai sumber utama dalam masalah Muslim hari ini (hal. XII). Melalui pendekatan ini, ada yang menganggap bahwa Islam sebagai gerakan ekslusivisme dan menolak kebenaran di luar teks keagamaan, maka dari itu Muslim hari ini tertinggal jauh dari peradaban Kristen Eropa, di sisi lain golongan Islamis menganggap secara berkebalikan, yakni ketertinggalan Muslim hari ini disebabkan karena jauhnya masyarakat dari teks keagamaan.
Kedua, pendekatan antikolonial, yang menganggap bahwa ketertinggalam Muslim hari ini disebabkan oleh kolonisasi Barat terhadap negara mayoritas Muslim dan eksploitasi sumber dayanya (hal. XII).
Kedua pendekatan tersebut adakalanya benar, namun apakah hanya sesederhana itu? Melalui buku ini, Kuru ingin mendedah serta memaparkan penyebab kemunduran dalam masyarakat Muslim dengan lebih mendasar dan komprehensif. Menggunakan metodologi "ketergantungan jalur" (path dependence) untuk memeriksa bagaimana kondisi ideasional dan material di periode historis tertentu, terutama "titik kritis", membentuk kondisi selanjutnya dengan membuat ketergantungan jalur (hal.XII),
Kuru mengajak pembaca untuk sejenak beromantisme pada sejarah Muslim abad ke-8 dan ke-12 serta melihat arus balik peradaban tersebut, Cara itu cukup baik dan menarik, mengingat bahwa memahami satu momen dalam sejarah, memungkinkan kita untuk bisa menentukan langkah-langkah ke depannya.
Acemoglu & Robinson (2020) dalam analisisnya menyebut bahwa kemakmuran (dan ketertinggalan) antarnegara disebabkan oleh institusi ekonomi yang ada, berikut dengan tata hukum atau perundangan. Jaminan kepemilikan modal atas swasta, kebebasan berpolitik, serta kebebasan berpikir yang diatur oleh hukum menjadi faktor penentu. Kuru sendiri menulis bahwa pada awal sejarah Islam, dunia Muslim lebih unggul secara keilmuan dan ekonomi daripada dunia Kristen Barat karena dunia Muslim menganggap para sarjana dan pedagang memiliki status yang tinggi, sedangkan Eropa mayoritas berada di bawah hegemoni para pemuka agama dan elite milliter (hal. 119).
Di masa-masa tersebut ilmuwan Muslim mayoritas didanai oleh perniagaan dan hanya sedikit sekali yang menjadi abdi negara, dengan begitu relasi agama-negara menjadi relatif kecil sehingga kedinamisan dan keberagaman intelektual tanpa tekanan politik penguasa,tanpa hukum pesanan demi langgengnya kuasa penguasa, serta struktur sosiopolitik yang egaliter menjadi pompa semangat untuk melahirkan karya-karya yang luar biasa berpengaruh untuk dunia.
Perubahan secara multidimensional terjadi ketika hal yang disebutkan di atas diubah sepenuhnya. Relasi agama-negara menjadi dominasi dalam kehidupan masyarakat. Pemerintah, terutama di masa Mamluk mewajibkan kesetiaan rakyat dengan memanfaatkan agama dan negara, serta menjadikannya tubuh-tubuh yang patuh dalam kekangan, di sisi lain ulama di masa itu juga memiliki pengaruh besar terhadap monopoli tafsir atas otoritas agama yang dibantu negara yang berakibat pada legitimator status quo dan matinya dinamisasi intelektual. (hal. 284)
Dalam tatanan sosioekonomi, penerapan militerisasi ekonomi membuat tertutupnya pintu pendanaan swasta bagi ulama ataupun intelektual di masa-masa kritis peradaban Muslim. Pedagang (yang sebelumnya menjadi basis ekonomi ulama dan cendekiawan) kehilangan peran besar yang sempat dimilikinya dan diganti oleh sentralisasi militer, pemasukan dan pengeluaran yang militeristik membuat terjajahnya kreativitas dan intelektual yang berakibat pada mandeknya ilmu pengetahuan.
Dari situ, dampak yang dihasilkan sangat signifikan terhadap apa yang terjadi di masa-masa selanjutnya, termasuk sampai hari ini. Ortodoksi pemikiran, dianggap tabunya hal-hal yang tak sesuai dengan apa yang dilegitimasi agama-negara, serta ketidakmandirian ekonomi membuat banyak masyarakat Muslim yang tidak puas dan bahkan kehilangan daya pikir yang berujung pada pemaksaan tafsir dengan cara kekerasan.
Sekarang Harus Bagaimana?
Antara kekerasan, otoritariasime, dan ketertinggalan menurut Kuru merupakan hal yang berkelindan, masing-masing masalah disebabkan oleh banyak hal tapi saling terkait. Oleh karena itu, melalui analisis kritis terhadap sejarah membantu kita untuk memahami dan kemudian bangkit untuk berkontribusi dalam masa progresif ini.
Kuru memberi rokomendasi untuk pengentasan masalah rekursif yang kompleks bagi dunia Muslim ini dengan harus membangun sistem kompetitif dan meritokrasi yang mereformasi sosioekonomi dan politik mendasar (hal. 411). Tentunya itu akan mungkin terjadi bila ada intelektual Muslim yang kreatif serta borjuasi independen yang mampu mengimbangi otoritas ulama-negara.
Di sisi lain, golongan muda Muslim perlu menyadari bahwa berpikir kritis baik terhadap teks-teks keagamaan ataupun arus informasi bolak-balik yang hari ini begitu cepatnya itu butuhkan. Karena, hari ini kita bukan hanya berbicara masalah penyebaran teks, melainkan juga proses pengambilan (appropriation) dan transformasi pengetahuan ilmiah dalam konteks antarbudaya.
Oleh: Ahmad Kurnia Sidik, bergiat di Lingkar Diskusi Sasadara
No Comment to " Menelisik Kemunduran Masyarakat Muslim "