• Mengelola dan Mengubah Perilaku Menuju Transisi Energi Berkelanjutan”

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Rabu, 08 Oktober 2025
    A- A+

     



     
    KORANRIAU.co- Kilas balik paradoks sumber daya energi yang melimpah mulai dari batu bara, minyak, gas, hingga potensi besar energi terbarukan di Indonesia, tersirat efisiensi dan efektivitas energi yang terlihat masih normatif, dimana kesadaran konsumen masih minim, dan transisi menuju energi bersih tidak secara massif digalakkan. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengapa perilaku konsumsi energi masyarakat sulit berubah, meskipun ancaman krisis energi dan isu keberlanjutan sudah berkali-kali disuarakan?

    Jawabannya terletak pada dimensi psikologis dan perilaku konsumen dengan pendekatan pemasaran energi pada pola lama, yaitu kampanye normatif yang menekankan “hemat energi itu penting” tanpa memahami faktor-faktor psikologis yang memengaruhi perilaku nyata. Padahal, teori perilaku konsumen modern memberi kita kunci untuk merumuskan strategi yang lebih efektif dan terukur.

    Theory of Planned Behavior (TPB) menawarkan kerangka yang relevan dengan Gambaran niat seseorang untuk berperilaku hemat energi dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu  sikap terhadap penghematan energi, norma sosial yang dirasakan, dan persepsi kontrol perilaku. Dalam konteks saat ini, banyak orang memiliki sikap positif untuk meyakini bahwa hemat energi itu baik, namun mereka tidak selalu melihat adanya tekanan sosial yang kuat untuk melakukannya. Lebih jauh lagi, banyak konsumen merasa upaya individu mereka tidak signifikan, sehingga persepsi kontrol perilaku rendah. Di sinilah intervensi diperlukan, bagaimana pemerintah, pelaku bisnis, dan komunitas dapat memperkuat norma sosial dan meningkatkan self-efficacy, sehingga konsumen merasa bahwa tindakan kecil mereka benar-benar berarti.

    Sementara itu, Protection Motivation Theory (PMT) menekankan dua aspek penting dalam membentuk perilaku yaitu penilaian ancaman dan penilaian kemampuan mengatasi. Konsumen mungkin menyadari ancaman yang ada dibenak mereka seperti kelangkaan energi, kenaikan tarif, atau dampak lingkungan dan disatu sisi mereka tidak yakin memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman tersebut, sehungga  mereka akan memilih Tindakan untuk pasif. Fakta ini menjelaskan mengapa kampanye yang menekankan ancaman krisis energi sering kali normatif dan biasa biasa  seolah tidak ada inisiasi untuk menggerakkan tindakan. Hal ini didasasri oleh tanpa keyakinan pada kemampuan diri yang mereka miliki,maka masyarakat justru cenderung apatis.

    Pesan berbasis ketakutan memang perlu, namun harus diolah dengan hati-hati. Extended Parallel Process Model (EPPM) mengajarkan bahwa pesan semacam ini efektif  bila diiringi solusi konkret dari kampanye atau sosialisasi yang dilakukan. Bila masyarakat merasa takut tanpa ditunjukkan cara yang realistis untuk bertindak, mereka cenderung mengalami defensive avoidance yaitu menghindari pesan, menyangkal, atau bahkan menolak informasi. Misalnya, peringatan tentang krisis iklim atau kenaikan harga mungkin menimbulkan kekhawatiran, tetapi jika masyarakat tidak tahu apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi konsumsi energi, ketakutan itu hanya menghasilkan kecemasan semata. Sebaliknya, ketika pesan dikombinasikan dengan instruksi sederhana seperti menghemat 10% energi  dapat berkontribusi menyelamatkan lingkungan, maka rasa takut berubah menjadi dorongan untuk bertindak.

    Pendekatan teoritis ini menemukan payung filosofisnya dalam pemasaran sosial. Pemasaran sosial menekankan bahwa tujuan utama bukanlah menjual produk, melainkan mengubah perilaku masyarakat demi kepentingan bersama. Kerangka 4S dalam pemasaran sosial, yakni solution, salience, sustainability, satisfaction, memberi panduan bagaimana strategi energi seharusnya dirancang. Solusi hemat energi yang ditawarkan harus nyata dan aplikatif, isu energi harus relevan dalam kehidupan sehari-hari, serta dampaknya perlu berkelanjutan, sehingga konsumen harus merasakan kepuasan intrinsik dari tindakan hemat energi dan norma sosial harus diperkuat melalui social proof, misalnya dengan testimoni publik figur, komunitas, atau bahkan komunitas lingkungan yang menjadi contoh.

    Namun, tantangan lain yang tidak kalah penting adalah negative word-of-mouth (WOM). Sektor energi di Indonesia kerap menjadi sasaran keluhan publik, mulai dari tarif yang dianggap membebani, gangguan teknis, hingga ketidakpercayaan pada kebijakan pemerintah. WOM negatif ini bisa menyebar cepat dan merusak kredibilitas kampanye hemat energi. Strategi mengatasinya tidak bisa sekadar defensif, melainkan harus proaktif yaitu transparansi dalam komunikasi kebijakan, respons cepat terhadap keluhan konsumen, dan pelibatan masyarakat dalam solusi energi lokal agar mereka merasa menjadi bagian dari gerakan, bukan sekadar objek kebijakan.

    Dalam ranah pemasaran modern, konsep 4P tetap relevan untuk diadaptasi. Produk yang ditawarkan bukan hanya energi, tetapi juga layanan energi terbarukan dan perangkat hemat energi. Harga bisa dirancang dengan skema progresif yang memberi insentif bagi perilaku hemat energi. Distribusi atau “place” bisa memanfaatkan platform digital sehingga akses masyarakat terhadap teknologi hemat energi semakin mudah. Sementara promosi perlu digarap secara kreatif, dengan pesan yang personal dan tepat sasaran. Model komunikasi AIDA yaitu attention, interest, desire, action juga menjadi kerangka penting, dimana perhatian publik perlu ditarik melalui kampanye kreatif, minat dibangun dengan manfaat nyata, keinginan diciptakan melalui bukti sosial, dan akhirnya tindakan diarahkan melalui ajakan yang jelas.

    Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mengimplementasikan strategi ini secara sistematis. Ada beberapa rekomendasi yang dapat dijalankan. Pertama, segmentasi konsumen harus berbasis perilaku, bukan hanya demografi. Konsumen yang sudah memiliki kesadaran tinggi tentu memerlukan pendekatan berbeda dengan mereka yang masih ragu atau apatis. Kedua, intervensi harus dilakukan di berbagai level, yaitu individu, komunitas, hingga kelompok skala nasional. Gerakan hemat energi tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan top-down, melainkan harus memanfaatkan kekuatan komunitas lokal. Ketiga, kolaborasi triple helix antara pemerintah, badan usaha, dan masyarakat menjadi kunci. Pemerintah menyediakan regulasi dan insentif, badan usaha menghadirkan inovasi teknologi dan layanan, sementara masyarakat menjadi aktor utama dalam perubahan perilaku.

    Keempat, platform digital perlu dimaksimalkan. Media sosial, aplikasi energi pintar, hingga gamifikasi dapat digunakan untuk meningkatkan keterlibatan publik. Misalnya, aplikasi yang memantau konsumsi energi rumah tangga secara real-time dan memberi reward bagi pengguna yang berhasil menurunkan konsumsi bisa menjadi insentif yang efektif. Kelima, evaluasi program harus berbasis teori perilaku. Indikator seperti perubahan sikap, peningkatan self-efficacy, dan terbentuknya norma sosial baru harus dijadikan ukuran, bukan hanya angka konsumsi energi yang berkurang. Dengan pendekatan ini, kita dapat memastikan bahwa perubahan benar-benar berakar pada perilaku masyarakat, bukan sekadar hasil kebijakan sesaat.

    Dengan meningkatnya kebutuhan energi, tekanan terhadap lingkungan, dan tuntutan global untuk mengurangi emisi, kita harus bergerak lebih cepat. Namun, keberhasilan transformasi ini tidak hanya ditentukan oleh teknologi baru atau regulasi pemerintah, melainkan oleh perubahan pola pikir dan perilaku konsumen. Di sinilah peran strategi pemasaran berbasis teori perilaku menjadi vital. Integrasi antara TPB, PMT, EPPM, pemasaran sosial, serta kerangka modern seperti konsep 4P dan AIDA merupakan peta jalan menuju masa depan energi yang lebih efisien dan berkelanjutan.

    Masyarakat perlu diyakinkan bahwa setiap tindakan kecil mereka berarti. Pemerintah dan pelaku usaha perlu memastikan bahwa solusi yang ditawarkan mudah diakses, terjangkau, dan memberi kepuasan. Siinergi dan kolaborasi semua pihak Adalah pintu masuk ke fase baru di mana konsumsi energi bukan lagi sekadar kebiasaan lama melainkan pilihan sadar yang bertanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
    Transformasi energi bukan soal retorika, tetapi aksi strategis yang lahir dari pemahaman mendalam tentang perilaku manusia. Dari teori ke praktik, dari wacana ke tindakan, inilah saatnya kita mengubah cara pandang dan cara bertindak, agar energi di Indonesia benar-benar menjadi pilar pembangunan berkelanjutan.

    Oleh: Charly Simanullang, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen
    Fakultas Eknomi dan Manajemen Bisnis Universitas Riau
     

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Mengelola dan Mengubah Perilaku Menuju Transisi Energi Berkelanjutan” "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com