KORANRIAU.co - Nasib pesantren belakangan ini menjadi bulan-bulanan publik karena isu-isu negatif yang sebenarnya tidak sebanding dengan peran besar pesantren bagi Indonesia. Pesantren telah hadir menjadi saksi sekaligus pendorong kemerdekaan Indonesia, baik melalui gerakan perlawanan maupun pendidikan.
Mari kita lihat jejak historisnya. Rahmah El Yunusiyah
merupakan seorang pahlawan perempuan asal Minang yang mendirikan sekolah Islam
bagi perempuan pertama di Indonesia bernama Perguruan Diniyah Puteri Padang
Panjang.
Dia tercatat sebagai santri Abdul Karim Amrullah,
ayah Buya Hamka. Dia selanjutnya mencetak pejuang hebat seperti Rasuna Said
melalui sekolah yang didirikannya.
Selanjutnya, sastrawan Raden Ronggowarsito dan
H.O.S Tjokroaminoto termasuk santri Kyai Besari di Pesantren Tegalsari,
Ponorogo. Dari H.O.S Tjokroaminoto, masyarakat Indonesia kala itu mendapatkan
kesadaran melakukan pergerakan secara sistematis dan modern melalui Sarekat
Islam. Dia juga termasuk guru dari Bung Karno.
Sementara itu, pendirian pesantren atau surau pada
masa silam merupakan inisiatif dari kiai atau tuan guru yang berasal dari
kepedulian terhadap proses pendidikan santri agar tertampung dan diawasi dengan
baik. Hampir seluruh pesantren yang didirikan itu dibangun atas dana pribadi
(wakaf) tanpa mengajukan proposal ke pihak lain.
Kemandirian pendirian pesantren jarang disorot
oleh masyarakat saat ini. Masyarakat hanya mengetahui bangunan pesantren sudah
berdiri megah. Mereka yang tidak memahami sejarah pendirian pesantren akan
menilai sepak terjang pesantren belakangan. Terlebih ketika pesantren mengalami
musibah, seperti yang terjadi di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo.
Pesantren dan masyarakat tidak akan pernah bisa
terpisahkan. Menurut Zamakhsyari Dhofir (1982), sosok kiai dalam pesantren
tidak sebatas figur keagamaan. Kiai memiliki cara pandang yang berbeda dari
guru pada umumnya. Mereka melihat umat dengan kasih sayang dan penuh optimisme.
Dengan kata lain, kiai dan pesantren menjadi poros sosial beragama masyarakat
sekitar.
Di era digital, pesantren di mata media yang tidak
berimbang akan dianggap sebagai sarang feodalisme dan kiai hidup mewah dari
amplop santri atau masyarakat. Pemberitaan demikian menjadi fakta yang pincang,
meski ada sebagian oknum yang memanfaatkan pesantrennya sebagaimana yang
disebutkan.
Dalam kehidupan pesantren, santri dan kiai yang
hidup 7x24 jam di satu lingkungan tanpa ada sekat menjadi wajar ketika
interaksi guru dan murid tersebut bisa setingkat orang tua dan anak. Namun
demikian, masing-masing pesantren memiliki cara mendidik adab yang berbeda.
Konteks budaya penghormatan kepada guru (takzhim)
antara pesantren modern dan pesantren tradisional sedikit berbeda, tetapi
esensi "adab didahulukan sebelum ilmu" tetap sama.
Kebiasaan seperti itu mungkin terasa asing bagi
masyarakat yang tidak terbiasa melakukannya. Justru ironi ketika ada sebagian
orang yang menentang praktik adab tersebut, sedangkan dirinya tidak pernah
dibiasakan menghormati orang tua atau guru. Praktik yang tidak berlebihan tidak
bisa dikategorikan sebagai feodalisme.
Evaluasi Diri
Menurut laporan Menteri Pekerjaan Umum Dody
Hanggodo (7/10/2025), hanya 51 pesantren yang memiliki izin pendirian bangunan
dari jumlah seluruh pesantren di Indonesia yang mencapai lebih dari 42 ribu.
Angka ini menunjukkan lemahnya jaminan keselamatan
dan kenyamanan santri sebagaimana yang dicita-citakan para kiai terdahulu ketika
mendirikan pesantren.
Secara hukum, pesantren telah diatur jelas dalam
UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Namun, aturan tersebut tidak
menyatakan dengan tegas spesifikasi konstruksi bangunan pesantren yang layak
seperti apa. Akibatnya, banyak pesantren yang terlihat megah dari luar tetapi
rapuh di pondasinya.
Rencana Kementerian Pekerjaan Umum yang akan
membekali para santri keterampilan profesional di bidang konstruksi patut
diapresiasi, tetapi harus dilaksanakan secara selektif. Pertama, hal itu akan
bermanfaat setidaknya setelah lulus bagi santri yang berminat dan memenuhi
kriteria. Kedua, santri yang tidak mendapat pelatihan sebaiknya tidak
dilibatkan dalam proses berat, seperti pengecoran lantai atas demi keselamatan
bersama.
Kemudian, pendanaan pesantren juga telah diatur
secara jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 tentang Pendanaan
Penyelenggaraan Pesantren. Dana pesantren berasal dari masyarakat, pemerintah
pusat/daerah, sumber lain yang sah dan tidak mengikat, serta dana abadi
pesantren. Artinya, pesantren mempunyai hak menerima bantuan dari masyarakat
atau negara.
Persoalan berikutnya muncul terkait ketimpangan
distribusi bantuan. Akan muncul ketidakadilan ketika ada pesantren yang
mendapat dukungan dana besar, sementara masih banyak pesantren yang belum
menerima porsi bantuan.
Akuntabilitas pemerintah serta sikap bijak
pesantren dibutuhkan ketika muncul potensi ketidakadilan ini. Semua lembaga
pendidikan wajib mendapat bantuan negara, tetapi pihak pesantren juga harus mengupayakan
pendanaan mandiri entah itu berasal dari bantuan alumni, swasta, atau ekonomi
kreatif internal pesantren.
Sebagai contoh, sudah banyak pesantren besar yang
telah menerapkan ekonomi kreatif yang sangat membantu biaya operasional
pesantren, antara lain Pesantren Gontor, Tebu Ireng, dan Sidogiri. Hasil
pengembangan ekonomi kreatif tersebut bahkan membantu meringankan beban
pendidikan para santri.
Segala unsur telah mendukung eksistensi pesantren
agar tetap bertahan dalam jangka waktu panjang, mulai regulasi pemerintah
hingga partisipasi masyarakat.
Harapan semua pihak yang ingin melihat pesantren
sebagai soko guru peradaban Indonesia yang diakui secara positif selamanya
harus diimbangi dengan sikap keterbukaan pesantren terhadap evaluasi dan inovasi,
tetapi pihak di luar pesantren juga harus sadar diri tidak boleh melakukan
intervensi ke dalamnya.
Belajar dari sejarah, negara ini tumbuh besar
salah satunya karena pesantren, maka sepantasnya negara ini tetap tumbuh
bersama pesantren sebagai bagian warisan pendidikan lokal yang diakui dunia.
Oleh: Abdurrahman Ad Dakhil. Mahasiswa S2 Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Wakil Pengasuh Pesantren Siti
Dhumillah Bogor 2024-2025, Alumni Pesantren Gontor Ponorogo.
detik

No Comment to " Menatap Masa Depan Pesantren "