• Pilpres, Dramaturgi Politik, dan Kuasa Elite

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 21 November 2023
    A- A+



    KORANRIAU.co- Menjelang proses elektoral 2024 mendatang, sejumlah aktor dan elite politik mulai tampil di layar panggung depan politik (frontstage politics). Mereka menampilkan dan mencoba meyakinkan publik, termasuk merespons berbagai statement politik dari rival politiknya.

    Dinamika politik ini akan semakin riuh, karena sudah ada tiga pasangan calon yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) --Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

    Sebelumnya, orkestrasi politik di Indonesia menjadi topik reguler yang secara intensif menjadi diskursus publik, terutama saat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghasilkan kans politik bagi putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka untuk menjadi calon wakil Presiden dari Prabowo Subianto.

    Keputusan MK ini dinilai telah menjadi bagian dari upaya aktor politik untuk melanggengkan kekuasaannya. Sebab, Anwar Usman sebagai adik ipar Jokowi menjadi Ketua MK sekaligus yang memutus perkara batas usia capres-cawapres, termasuk ada frasa baru yang dijadikan peluang bagi Gibran untuk ikut kompetisi.

    Secara faktual, relasi Jokowi sebagai Presiden dan Anwar Usman sebagai ketua MK tidak bisa dinafikan dalam arena politik. Keduanya secara bersama menguasai pusat kekuasaan. Imbasnya, saat ada gugatan terkait batas usia capres-cawapres kedua figur politik ini memperoleh keuntungan politik. Sehingga, putra sulung Jokowi, Gibran bisa melenggang tanpa ada sumbatan politik.

    Meskipun kedua figur ini menjawab tidak pernah terlibat dalam proses memuluskan Gibran untuk maju dalam arena politik, tetapi sebagai keluarga politik sukar sekali untuk keluar dari bayang-bayang kekuasaan yang superior ini.

    Dalam bahasa lain, keputusan tersebut dinilai memunculkan konflik kepentingan yang tidak bisa dihindari. Bahkan, hal ini dilegitimasi dari putusan Mahkamah Kehormatan MK yang menilai bahwa Anwar Usman telah melanggar. Akibatnya, ia diberikan sanksi dan diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua MK.

    Harapan Politik

    Kekuasaan memang bisa mengubah sikap dan perilaku individu secara penuh. Keputusan politik ini tentunya puncak politik yang diharapkan oleh figur dan elite politik, di mana dulu ada wacana perpanjangan masa jabatan presiden agar Jokowi bisa memimpin Indonesia kembali.

    Harapan politik yang dulu digulirkan ini, kini telah membuahkan hasil melalui putusan MK, terutama diprakarsai oleh paman Gibran sebagai ketua MK. Gibran yang juga sebagai Wali Kota Solo ini tentunya baru menjabat kepala daerah selama dua tahun dan secara eksklusif ikut serta dalam arena politik --jabatan yang relatif sebentar di tengah terpilihnya Gibran oleh rakyat melalui pemilu.

    Gibran yang didapuk menjadi cawapres Prabowo ini dinilai telah merepresentasikan kelompok dan pemilih muda. Namun, terpilihnya Gibran sebagai cawapres Prabowo lebih dilandasi pada dimensi elektoral ayahnya. Dengan kata lain, terpilihnya Gibran karena efek ekor jas dari Jokowi yang bisa digunakan untuk mendulang suara. Karena Jokowi masih menjabat sampai Oktober 2024 mendatang, kekuatan yang dimiliki oleh Jokowi sangatlah besar.

    Di tengah kekuatan politik tersebut, hematnya, bisa digunakan untuk menjaga agar pemilu bisa digelar secara demokratis dan fair. Sebagai panglima tertinggi, Presiden Jokowi tentunya memiliki sikap negarawan yang harus dipegang --yang tidak boleh ikut serta dalam gelanggang politik alias cawe-cawe. Meskipun, ada putranya, Gibran Rakabuming Raka dalam arena politik.

    Kehadirannya dalam panggung politik nasional ini karena ia memiliki hak privilese politik yang tinggi. Oleh karena itu, majunya Gibran juga menuai polemik karena menyuburkan praktik politik dinasti, termasuk Kaesang yang baru saja menjadi kader partai politik, secara kilat menjadi Ketua Umum PSI, plus Bobby Nasution sebagai menantu dari Jokowi yang menjadi Wali Kota Medan.

    Objek Politik

    Sampai saat ini, publik selalu dijadikan objek semata dalam politik; proses politik yang tidak memperhatikan konstitusi atau justru mengubah aturan main merupakan salah satu syarat tidak demokratisnya figur politik. Demokrasi mengandaikan adanya kesetaraan politik. Tapi, kesetaraan politik tampaknya dikoyak oleh kekuatan besar.

    Terpilihnya cawapres dari ketiga pasangan calon telah membuat absennya publik dalam proses politik dan mengabaikan partisipasi politik warga. Kuasa elite masih dominan dalam menentukan pasangan capres-cawapres. Alih-alih sebagai tuan dalam arena demokrasi, rakyat justru terisolasi dan lazimnya para elite membuka struktur peluang politik bagi para elite politik maupun pemilik modal yang dilakukan secara sistemik.

    Oleh: Imron Wasi, Manager Riset dan Advokasi Publik Netfid Indonesia
    detik/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Pilpres, Dramaturgi Politik, dan Kuasa Elite "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg