KORANRIAU.co,PEKANBARU- Kondisi hutan mangrove di Provinsi Riau, sangat memprihatinkan. Untuk itu, perlu dilakukan upaya penyelamatan melalui program rehabilitasi. Mengingat ekosistem mangrove mampu menyimpan karbon lebih besar dari hutan tropis daratan.
Kini, di Indonesia terdapat sekitar 600 ribu hektare mangrove dengan kondisi kritis. Dari jumlah itu, 155.540 hektare berada di pesisir pantai wilayah Provinsi Riau. Sehingga, menjadi salah satu area target rehabilitasi mangrove oleh Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Maka dari itu, BRGM berusaha mendorong dan memotivasi masyarakat yang sudah memiliki kepedulian, untuk turut bekerjasama dalam upaya melestarikan mangrove. Ini juga menjadi bagian dari upaya menyelamatkan daratan yang seiring berjalannya waktu, semakin terkikis akibat dampak abrasi air laut.
Apalagi, di Bumi Lancang Kuning mangrove menjadi tanaman yang berasosiasi dengan tanaman gambut. Sehingga, tahun ini ditargetkan untuk melalukan rehabilitasi gambut seluas 18.000 hektare.
Kepala BRGM RI, Hartono Prawiraatmadja menyampaikan, ekosistem gambut dan mangrove di beberapa provinsi di Nusantara menjadi suatu yang tak dapat dipisahkan. Salah satunya yakni di Riau.
"Ekosistem mangrove merupakan benteng bagi ekosistem gambut yang secara fisik memang gampang terurai ketika terpapar oleh ombak (laut)," jelas dia, saat meninjau kondisi mangrove di Kelurahan Basilam Baru, Kecamatan Sungai Sembilan, Kota Dumai, akhir pekan lalu.
Di Riau dan Kepulauan Riau, serta secara umum di sepanjang pantai timur Sumatera disebutkan Hartono, keberadaan mangrove menjadi penting. Karena, sebagian besar ekosistem gambut memerlukan kehadiran mangrove sebagai pelindung.
Disinggung soal kaitannya dengan emisi karbon, istilah ini dibeberkan Hartono, juga sering digunakan untuk ekosistem lahan basah. Termasuk mangrove dan gambut, serta adanya danau air tawar yang jauh dari pesisir pantai.
"Ekosistem mangrove itu pada kondisi klimaksnya, mampu menyimpan karbon 4 kali lebih banyak dari hutan tropis. Jadi bisa dibayangkan. Ekosistem hutan tropis yang sangat kita banggakan, dalam hal keanekaragaman hayati, tapi dari sisi penyimpanan karbon, itu lebih rendah dari mangrove," urainya.
"Sehingga mangrove menjadi ekosistem yang penting untuk kita lestarikan dan selamatkan," sambung dia.
Hartono menuturkan, Provinsi Riau pada dasarnya memiliki luasan gambut dan mangrove yang termasuk besar di Indonesia. Disamping Papua dan Kalimantan Barat.
"Maka keberhasilan kita untuk mengelola gambut dan mangrove secara berkelanjutan itu menjadi penting. Terutama ketika Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan laju emisi (karbon) 29 persen di Konvensi Perubahan Iklim," ungkap dia.
Sementara itu, Datuk Darwis, salah seorang inisiator penyelamatan mangrove di Kota Dumai, mengaku sudah selama 22 tahun mengabdikan diri untuk pelestarian tanaman mangrove. “Target saya tiap penyelamat mangrove bisa mandiri dan sejahtera,” tuturnya.
Alhasil, berkat kerja kerasnya, Darwis berhasil membuat kawasan mangrove menjadi salah satu alternatif wisata di Kota Dumai. Tak hanya menanam dan merawat hutan mangrove, dia secara langsung turun tangan membangun dan mengajar para kelompok tani hutan untuk dapat menanam mangrove dengan baik dan benar.
Menurutnya menanam mangrove tak seharusnya hanya menjadi sarana pelestarian lingkungan, melainkan juga menjadi pelestarian budaya yang penting untuk dijaga keberlangsungannya.
“Pelestarian mangrove dan lingkungan seharusnya dikerjakan semua orang,” sebutnya.
Selain itu, tentunya bila mangrove itu lestari dan terawat, maka kesejahteraan masyarakat pun akan dapat meningkat. "Maka jelaslah bahwa pekerjaan merehabilitasi mangrove menjadi hal yang sangat penting untuk dikerjakan semua pihak," tutupnya.Riri
No Comment to " BRGM: 155.540 Hektare Hutan Mangrove di Riau Kritis "