KORANRIAU.co– Rasa haru menyergapku tiap kali ada anak seusiamu berkata, "Kalau sudah besar, aku ingin sekolah di kota." Mungkin karena ada sepercik kenangan yang merayap dalam kalimat yang diucapkan si bocah atau memang karena semua anak seumuranmu, yang kebetulan tinggal bukan di kota besar, nyaris pernah menginginkan dan mengangankan hal itu.
Apa memang demikian, adikku? Dulu kita bertemu di sebuah sekolah, sepetak lahan berisi bangunan ruang kelas yang baik kualitasnya sebab berada di ibukota kecamatan. Lalu, kau datang dan sering memperhatikanku, aku tahu itu.
Saya gurumu di sebuah kelas, lebih jauh lagi di sekolah itu. Bersama kawan-kawan dalam sebuah program, aku mengajar beberapa kelas di sekolah itu dan salah satunya kelas yang kau duduki.
Rasa haru menyergapku tiap kali ada anak seusiamu bilang: "Kalau sudah besar, aku ingin sekolah di kota." Mungkin karena ada sepercik kenangan yang merayap dalam kalimat yang diucapkan si bocah atau memang karena semua anak seumuranmu, yang kebetulan tinggal bukan di kota besar, nyaris pernah menginginkan dan mengangankan hal itu. Apa memang demikian, adikku?
Dulu kita bertemu di sebuah sekolah: sepetak lahan berisi bangunan ruang kelas yang baik kualitasnya sebab berada di ibu kota kecamatan. Lalu kau datang dan sering memperhatikanku—aku tahu. Aku "guru"-mu di sebuah kelas, lebih jauh lagi: di sekolah itu. Bersama kawan-kawan dalam sebuah program, aku mengampu beberapa kelas di sekolah itu dan salah satunya kelas yang kau duduki.
Ah, Adik, kenapa tatapanmu itu masih belum mampu kulupakan--setidaknya: tak lagi menikamku dalam sebuah lamunan. Apa kau berpikir bahwa memang tak ada rumusan dan jawaban yang jelas dariku soal pertanyaanmu itu: "Kalau di kota sana, banyaklah sekolah pesantren yang bagus?" Ah, Adik, kenapa pertanyaanmu terus memburuku sampai detik ini dan jawaban dariku seakan-akan terus kau tagih?
Aku hanya menjawab, "Ya, tentu. Datanglah", untuk menenangkan hatimu. Aku tahu kau gusar karena mungkin bersekolah di kota cuma impian kepagian dari seorang bocah kelas 4 sekolah dasar. Aku pun tahu orangtuamu belum tentu mengizinkan kau pergi dari kecamatan nan sejuk itu, suatu hari nanti, meski niatmu luhur. Aku pun tahu kawan-kawan sekelasmu juga belum tentu mampu datang ke kota, bahkan sekadar untuk tamasya. Oh, aku juga tahu bahwa tak semua dari kalian bakal melanjutkan pendidikan sampai jenjang sarjana.
Salahkah dugaanku?
Jauh sebelum hari kita bertemu, Adik, ada seorang bocah yang tak pernah bermimpi untuk kuliah. Keluarganya hidup sederhana--dengan pengertian lain: miskin—dan satu-satunya kemewahan bagi si bocah adalah menelan mi rebus panas pada akhir pekan. Kau tahu, Adik, ayahnya kuli di sebuah toko bangunan dan mesti bersepeda belasan kilo sehari untuk sampai ke tempat yang memberi keluarganya makan itu. Akhir pekan tentu menjadi hari yang menggembirakan bagi buruh-buruh mingguan seperti mereka sebab gaji akan dibagikan. Tepat pada hari Ahad, si bocah akan menyuap mi instan ke mulutnya dengan bahagia meski ia terharu saat sadar bahwa ayahnya selalu mengalah untuk hanya mendapat jatah sisa makanannya.
Apakah itu cuma romantisme belaka, Adik? Tidak juga. Tiap orang pernah susah dan kau pun tahu soal itu. Dalam kesusahan itu sering kali kita lupa akan kenyataan dan mulai berdoa buat masa depan. Barangkali pada suatu waktu si bocah telah mengucapkan permintaannya yang tak muluk-muluk di atas tikar sembahyang pemberian orang yang sudah mulai sobek dan butut itu. Mungkin juga sang ayah atau ibunya yang diam-diam menikamkan air matanya di atas sajadah dengan bibir bergetar dan mata merah lalu meminta Yang Maha Kuasa menjadikan anaknya soleh dan suatu hari punya masa depan yang cerah.
Tak ada yang benar-benar kita ketahui, Adik, pada akhirnya. Buat kita barangkali yang tersisa cuma pikiran yang jernih untuk mulai membaca situasi sambil berharap tangan-tangan gaib membawa kita ke sebuah siklus kehidupan yang ajaib. Oleh sebab itulah aku selalu berharap kau akan menemukan jalanmu sendiri, cara yang kau rumuskan setelah gagal berkali-kali, hingga menjadi bahagia dengan pengertianmu sendiri.
Lima tahun berlalu, Adik, sudah di mana, kau? Mungkin kau sekarang sudah masuk sekolah pesantren yang kau inginkan itu atau menempuh studi di sekolah umum/swasta yang tak jauh dari kotamu, bahkan barangkali juga kau sudah di luar provinsi saat ini. Tak ada yang kuketahui lagi tentangmu hingga aku merasa perlu mengenangmu.
Kenapa kau bertanya kepadaku, hari itu, bukan kepada kawan-kawanku? Apakah kau memercayai cara pandangku? Pentingkah buatmu sosok seorang yang kau panggil Abang ini?
Pada usia saat itu, kau tentu langsung menjawab semuanya dengan "Ya" sebab kau memang seakan-akan memburu kehadiranku di semua titik: depan ruang kelas, kantin, bahkan gerbang sekolah--sebelum aku pulang mengajar dari lembaga pendidikanmu. Pertanyaanmu pun sama tiap kita bersua dan aku pun tak pernah bosan menjawab dengan redaksi senada. Namun, apa yang lebih berharga dari itu semua?
Suatu hari, Adik, hanya pada satu hari, aku tiba-tiba menangis membaca rilis berita yang dikirimkan oleh seorang kontributor di daerah. Di berita itu aku berjumpa beberapa orang guru yang menangis di hadapan wartawan yang mewawancarai mereka. Foto itu mengaduk emosiku dan kutipan-kutipan yang menyentuh dalam rilis itu membuat air mataku kian bandang. Guru-guru itu bilang mereka dibayar 300 ribu rupiah sebulan dan itu pun tak pasti.
Momen itu terjadi setahun setelah aku pergi dari kampung halamanmu dan kembali ke kota ini. Pada saat-saat demikianlah aku merasa terkutuk sebagai seorang yang sedang menempuh pendidikan tinggi. Apa guna kunjunganku ke daerahmu itu kalau hal-hal semacam kisah di atas tak mampu kutemui alih-alih kucarikan solusinya? Apa guna pendidikan ini, pada akhirnya?
Aku mesti mengemukakan cerita itu kepadamu sebab kurang dari 10 tahun lagi kau akan berada di posisiku saat itu. Kau, yang barangkali belum berpikir untuk kuliah, mungkin akan pelan-pelan memasuki gerbang kampus, duduk di kursi, mendengarkan kuliah, dan pulang dengan kepala terisi—atau lupakan saja itu semua karena kau memang tak berniat mencari sesuatu yang berguna. Kau pun bakal bertemu dengan berbagai peristiwa yang tentu saja tak kau duga akan ada di kota. Namun, begitulah kota akan memperlakukanmu dan tugasmu hanyalah membaca gelagatnya—meski tak mudah.
Apakah kau memang benar-benar bakal datang ke mari atau justru sudah bertahun-tahun di sini, aku tak pernah tahu. Apakah kau akan membatalkan niat itu karena berubah pikiran dan haluan lain lebih memesonakan pandanganmu, aku juga tak pernah tahu.
Lima tahun lalu kita bertemu, Adik, dan aku percaya langkah dan tindakan yang kau ambil akan menuntunmu ke sebuah tujuan yang kau harapkan dulu. Bau karet, pokok-pokok kelapa sawit, amis sungai, dan desau pasar di kampungmu itu kuyakini tak pernah menyiakan-nyiakan kalian semua. Ia yang membuat kau dan adik-adikmu bersekolah; kebun-kebun itu yang mengantarkan sekarung beras ke rumahmu sehingga tak mungkin wilayah yang sudah kuanggap sebagai rumah itu menelantarkan kalian semua. Sisanya memang tinggal kau: apakah kenyataan akan melibas harapan atau sebaliknya.
Mungkin kau tak lagi mengenalku, mengenaliku saat kita bertemu suatu waktu, atau diam-diam merindukanku sebab, sebagaimana diriku kini, ada kenangan yang tak gampang dihapus di kepala ini: selembar potongan peristiwa tentang kita, yang dipotret oleh masa; kisah-kisah yang mungkin nyaris sepenuhnya usang, tetapi kita enggan membuangnya.viva/nor
No Comment to " Surat untuk Mereka yang Ingin Sekolah di Kota "