• Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK?

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 10 September 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-Ketika Jung Chang dalam "Wild Swans: Three Daughters of China", 1991, menceritakan kehidupan keluarga mereka di era the Cultural Revolution di China, ada bagian Chang bercerita ayahnya dimusuhi oleh keluarga2 mereka, karena ayahnya berkeras tidak membantu kenaikan pangkat pamannya Chang. Padahal di kota itu, ayahnya, Wang Yu dan ibunya Bao Qin adalah petinggi partai komunis, yang gampang saja membantu kenaikan pangkat seseorang.

    Di masa itu, sudah menjadi budaya berkeluarga menolong anggota keluarga menjabati jabatan pemerintahan. Jika seseorang pejabat negara tidak membantu keluarganya, maka orang tersebut akan dicibir bahkan dikucilkan dari keluarga besar. Sebab, seorang yang baik adalah yang gampang dimintai tolong untuk membantu keluarga. Tidak membantu keluarga dianggap perbuatan kurang terhormat dan memalukan.

    Pada masa itu, suasana di Indonesia juga berlangsung sama. Sukarno membentuk "Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi" yang diketuainya sendiri, dibantu Subandrio dan Ahmad Yani. Aparat revolusi tentu maksudnya kekuatan birokrasi di arahkan pada kepentingan aparatur dalam bekerja secara keras dan sungguh2 membangun. Terutama karena berbagai asset asset perusahaan Belanda mulai diambil alih menjadi aset nasional.

    Suasana revolusioner di Indonesia, seperti di Cina, juga dihantui oleh budaya yang sama. Atau lebih luas lagi dengan masyarakat di asia timur.

    Budaya kita, menurut Santoso dkk, Airlangga University, 2014, memang mewarisi budaya patrimonial dan permissif bagi tumbuhnya korupsi, bahkan hingga era modern ini.

    Keberhasilan Komunis di China melawan korupsi telah menjadi fenomena utama yang diakui dan menjadi jalan bagi keberhasilan Deng Xio Ping melanjutkan pembangunan China yang bercorak Kapitalisme Sosialistik Negara. Sedangkan Bung Karno, dengan Sosialismenya telah gagal menghancurkan budaya patrimonial ini. Sehingga, ketika Suharto membelokkan Sosialisme menjadi Kapitalisme Negara, ketika berkuasa, budaya patrimonial dan permissif tetap menjadi bungkus bagi birokrasi dan kekuasaan kita.

    Pada saat Santoso et. al melakukan riset keterkaitan budaya ini, pada 2013-2014, budaya yang dimaksud di sini lebih pada budaya Jawa yang menjadi rujukan. Dalam budaya ini patrimonialistik dan birokrasi menciptakan sifat "patron-client", yang mendorong patron atau orang yang jabatannya tinggi menjadi lokomotif bagi pejabat2 yang direkrutnya atau di bawahnya. Patron seperti bapak yang harus dituruti. Sehingga, sifat rasionalistik dan impersonal dalam birokrasi Weberian tidak terjadi. Sifat birokrasi yang semula untuk memisahkan agenda publik dan pribadi menjadi bercampur baur.

    Budaya Jawa ini di sisi lain tidak ingin menghancurkan sebuah konsep harmonisme dalam himpunan sosial. Alasan menjaga harmonis dalam masyarakat membuat kontra terhadap korupsi tidak besar. Selain itu, budaya yang dimaksud adalah  budaya yang melihat urusan negara adalah urusan pribadi yang bersangkutan atau pejabatnya, bukan urusan masyarakat.

    Demokrasi Bejat dan Korupsi

    Ketika reformasi di mulai, isu pemberantasan korupsi kembali menjadi sentral. Tuntutan mahasiswa saat itu, antara lain seperti Fahri Hamzah (KAMMI) dan Masinton Pasaribu (REPDEM) mendorong agar pemberantasan korupsi merupakan agenda utama pemerintahan era reformasi.

    Politik ekonomi kita yang bergeser menjadi liberalistik seperti di Amerika, seperti demokrasi liberal melalui pemilihan langsung dan ekonomi liberal, melalui "free market economy" & "free competition" awalnya diharapkan kompatibel dengan gerakan pemberantasan korupsi. Namun, setelah 21 tahun paska Suharto, justru kita semakin terpuruk dalam budaya korupsi yang semakin luas, yang dalam penilaian Santoso dkk, sebagai Kleptokrasi.

    Pramono Anung, dalam disertasinya di Unpad, beberapa tahun lalu, mengutarakan hasil riset tingginya biaya politik untuk menjadi anggota DPR RI.

    Demokrasi liberal saat ini yang begitu mahal, pada akhirnya memaksa elit politik berjuang keras melakukan korupsi untuk membiayai partai dan sistem politik mereka. Fenomena ditangkapnya Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum, ketua DPR/ Ketua umum Partai Golkar Setya Novanto, Dirut BUMN PLN dll. menunjukkan tali temali korupsi sudah seperti kanker stadium 5. Alias sistem dan budaya korupsi sudah menjadi kenyataan budaya bangsa. Perilaku di elit diikuti juga oleh masyarakat sampai ke desa2, yang memburu uang uang bantuan desa dan bantuan sosial untuk dikorupsi. Walhasil, elit dan rakyat masuk dalam kesatuan korupsi dalam bingkai kesatuan NKRI.

    Mau Kemana Kita?

    Fahri Hamzah telah lama melakukan deligitimasi terhadap KPK. Fahri menyudutkan KPK sebagai institusi penuh pengkhianat. Pidato Fahri yang beredar belakangan ini membongkar praktek2 KPK yang pilih kasih dalam mengungkap kasus. Dan juga KPK melakukan politisasi dan mencari kesempatan politik atas setiap kasus yang ada.

    Memang, sejak era paska Taufik Ruki, KPK tidak tumbuh dengan baik. Era Antasari, KPK ditenggarai dengan keinginan Antasari menjadi tokoh nasional kedepannya saat itu, sebagai capres. Hal yang sama diindikasikan pada Bambang Wijayanto dan Abraham Samad, berambisi jadi Cawapres Jokowi, 2014. Beberapa pimpinan KPK juga mengalami konflik interest karena bertemu pihak2 yang berkepentingan terhadap kasus yang ditangani, seperti kasus Bibit dan Chandra, juga Abraham Samad.

    Era sekarang, KPK juga dibayangkan sama. Berbagai kasus, seperti Reklamasi, Sumber Waras dan Transjakarta yang dianggap mainstream di masyarakat, tidak ditindaklanjuti pimpinan KPK. Meskipun sesungguhnya tahap awal KPK memperlihatkan kemajuan besar dengan membongkar kasus suap Meikarta dan memulai adanya pidana korporasi. Namun, ternyata juga berhenti di urusan suap menyuap saja, bukan di "state actor corruption" dan kejahatan korporasinya.

    Berbeda dengan Fahri Hamzah, Masinton Pasaribu, sebuah gambaran sosok yang mewakili kelompok kekuasaan yang ingin berkurangnya kekuasaan KPK, bergerak mengecilkan istilah "extra ordinary" kelembagaan KPK ini menjadi lembaga eksekutif biasa saja. Dengan rancangan revisi dalam  RUU KPK, yang diinisiasi partai2 pemerintah saat ini, mereka berusaha agar KPK tidak lagi menjadi halangan bagi supermasi kekuasaan yang mereka raih untuk periode kedua. Tindakan mereka ini mengalami penentangan dari berbagai kalangan masyarakat, LSM dan puluhan professor.

    Pengamat hukum Dr. Ahmad Yani, di sisi lain, dalam "Bukan Barang Haram Merubah UU KPK" , 2019, memandang perubahan UU KPK justru sejak awal hal yang urgen. Menurut Yani KPK selama ini telah gagal menjalankan tugas utamanya menjadi" trigger mechanism" dalam mengkordinasikan, mensupervisi dan mensinergikan seluruh kekuatan institusi penegak hukum dalam melawan korupsi. KPK hanya asyik sendiri dalam menjalankan fungsinya serta menikmati gegap gempita pujian dari masyarakat atas operasi operasi OTT (operasi tangkap tangan).

    Sehingga rencana awal (Blue Print) KPK yang dimaksudkan era reformasi hampir sepenuhnya gagal. Korupsi2 kecil ditangani, namun korupsi sesungguhnya menyangkut sumberdaya alam, perbankan, pajak, bursa effek, dan skandal hutang luar negeri tidak tersentuh.

    Namun, Yani, menekankan kehadiran KPK masih diperlukan, dengan kembali ke khittah/rancang dasar pembentukannya. Khususnya, bagaimana menemukan pimpinan KPK yang integritasnya sangat mumpuni.

    Penutup

    Kajian budaya masyarakat dan korupsi penting melihat bagaimana hukum dan sistem sosial politik kita dikembangkan agar budaya patrimonial dan permissif bisa disiasati. Jika ideologi kita tidak bisa menghancurkan sebuah budaya, seperti di China jaman Mao, pensiasatan hukum dan integritas elit adalah kunci utama. Lebih jauh jika sistem sosial politik berbiaya rendah dapat dikembangkan lagi, situasi akan lebih mudah.

    Secara hukum dna institusi, kajian menarik pernah dilakukan pemerintah. Kajian terhadap pemberantasan korupsi dari perspektif hukum itu, Muzakkir dkk, 2011, melihat 1) kompetisi aparat/institusi hukum semakin kuat terhadap KPK. Tugas KPK melakukan kordinasi semakin jauh dari harapan. 2) Kategorisasi Tindak Pidana Korupsi  mengalami degradasi perihal sifat "extra ordinary criminal law" dan "extra ordinary crimes".

    Dalam persepektif hukum dan institusi, beberapa perbaikan tentu dapat didalami lagi.

    Prinsipnya KPK perlu tetap diselamatkan. Namun, KPK juga harus refleksi agar keberlangsungan eksistensinya tidak dihadang kekuatan jahat dan rakyat masih mendukungnya.

    Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle/republika/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Matinya Reformasi, Budaya Korupsi dan Tamatnya Nasib KPK? "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg