Foto: Sidang dugaan korupsi Proyek Gedung Politeknin KP Dumai.
KORANRIAU.co,PEKANBARU- Empat terdakwa dugaan korupsi proyek rehabilitasi Gedung Politeknik Kelautan dan Perikanan (KP) Kota Dumai yang merugikan negara Rp6 miliar lebih, mengajukan nota pembelaan (pledoi), Senin (1/12/25) di Pengadilan Tipikor Pekanbaru.
Keempat terdakwa itu diantaranya, Dwi Hertanto selaku
Koordinator sekaligus Penanggung Jawab Kegiatan serta Ketua Panitia/Pejabat
Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP) proyek. Lalu, terdakwa Bambang Suprakto selaku
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
Selanjutnya, Syaifuddin selaku Direktur Utama PT
Sahabat Karya Sejati (SKS) yang merupakan rekanan pelaksana proyek. Terakhir,
Muhammadyah Djunaid merupakan pemilik modal.
Terdakwa
Muhammadiyah Djunaid yang dituntut Jaksa penuntut umum (JPU) Dwi Joko Prabowo SH MH selama 9,5
tahun penjara, meminta dibebaskan dari segala tuntutan jaksa. Hal itu
disampaikan dalam pledoi pribadi dan Tim Kuasa Hukumnya Husain Rahim Saije SH, dihadapan majelis hakim yang dipimpin Aziz Muslin SH
MH.
Husain dalam pledoinya mengatakan, tidak sependapat
demgan teknik penghitungan kerugian negara (KN) JPU yang disampaikan keterangan
Ahli Jasa Konstruksi Muhammad Amry ST MT IAI. Disebutkan, bahwa ahli JPU itu sangat
keliru menggunakan metode pemeriksaan Koreksi Arutmetik dalam menghitung
kerugian negara. Sehingga menimbulkan hasil penghitungan KN secara potensial loss atau total loss dan bukan actual loss.
Seharusnya kata Husain, dalam penghitungan KN itu
harus berdasarkan hasil penghitungan actual loss (nyata atau pasti-red). Penghitungan yang dilakukan melalui
pemeriksaan fisik terkait kunatitas atau volume pekerjaan kosntruksi.
“Hal ini berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
25 Tahun 2016 bahwa penghitungan kerugian keuangan negara tidak berpatokan
terhadap potensiaal loss. Akan tetapi
harus berdasarkan kerugian negara yang benar-benar terjadi dan nyata secara
actual loss,”tegas Husain.
Sementara lanjut Husain, metode koreksi Aritmatik menggunakan
Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2016 atau SNI 7394-2008, yang sifatnya
hanya sebagai informatif atau contoh saja. Artinya, metode koreksi Aritmatik
ini tidak bisa dijadikan acuan untuk menghitung kerugian negara secara nyata
dan pasti (Actual loss).
Tidak hanya itu papar Husain, berdasarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) RI Nomor 4 Tahun 2016 menyebutkan, bahwa hanya Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang berwenang menghitung dan menyatakan adanya
kerugian negara.
“Berdasarkan alasan dan fakta persidangan tersebut,
maka kami memohon kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara ini dalam
putusannya untuk menyatakan membebaskan terdakwa Muhammadiyah Djunaid tidak terbukti
bersalah, sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum. Membebaskan terdakwa dari
rumah tahanan,”kata Husain.
Selanjutnya, Husain meminta agar memulihkan hak terdakwa
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya.
Atas pledoi terdakwa itu, hakim kemudian memberikan
kesempatan JPU untuk memberikan tanggapan (replik-red). Sidang ditunda Rabu
(3/12/25) lusa.
Sebelumnya, JPU menuntut Muhammadiyah Djunaid selama
9,5 tahun penjara. Terdakwa juga harus membayar denda sebesar Rp500 juta atau
subsider selama 5 bulan kurungan. Kemudian terdakwa dituntut dengan hukuman
tambahan membayar uang pengganti (UP) kerugian negara sebesar Rp4,6 miliar atau
pidana penjara selama 5 tahun.
Sementara terdakwa Syaifuddin dituntut
dengan pidana penjara selama 9 tahun. Dia juga harus membayar denda sebesar
Rp500 juta atau subsider 3 bulan kurungan. Syaifuddin harus membayar UP sebesar
Rp127 juta atau subsider selama 4,5 tahun penjara.
Dua terdakwa lainnya yakni Dwi Hertanto dan Bambang
Suprapto, masing dituntut dengan pidana penjara selama 8 tahun 6 bulan penjara.
Keduanya juga membayar denda sebesar Rp500 juta atau subsider 3 bulan kurungan.
JPU menyatakan, para terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1)
juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidama.
JPU dakwaannya menyebutkan, perbuatan korupsi ini terjadi dalam kurun waktu Juli
2017 hingga Juli 2018 silam. Berawal ketika Pusat Pendidikan Kelautan dan
Perikanan, Badan Riset Sumber Daya Manusia (BRSDM), Kementerian Kelautan dan
Perikanan mendapat anggaran Rp20.520.574.000 untuk kegiatan
Pembangunan Gedung Politeknik Kelautan dan Perikanan (KP) Dumai yang
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2017.
Berdasarkan hasil lelang yang dilakukan oleh
terdakwa Bambang Suprakto, maka PT Sahabat Karya
Sejati (SKS) ditunjuk sebagai pemenangnya. dengan nilai kontrak sebesar Rp18.338.598.000. Dengan masa
waktu pelaksanaan kegiatan selama 120 hari kalender.
Namun dalam perjalanannya, proyek ini ternyata tidak dilaksanakan sesuai dengan
kontrak kerja yang telah disepakati. Menurut JPU, keempat terdakwa memiliki
peran berbeda yang mengakibatkan timbulnya kerugian negara dalam proyek
tersebut.
Akibat perbuatan para terdakwa itu, berdasarkan hasil
audit BPKP Provinsi Riau ditemukan kerugian
negara sebesar Rp6.080.234.275.. nor

No Comment to " Sidang Korupsi Gedung Politeknik Dumai, Terdakwa Muhammadiyah Minta Dibebaskan Hakim "