KORANRIAU.co- Polisi
Filipina di bawah pemerintahan Ferdinand Marcos Jr atau Bongbong menangkap
eks Presiden Rodrigo Duterte di Bandara Internasional Ninoy Aquino Manila
pada Selasa (11/3).
Penangkapan sebagai tindak lanjut usai Mahkamah
Pidana Internasional (ICC) merilis surat perintah penangkapan untuk Duterte
atas dugaan kejahatan kemanusian dalam perang melawan narkoba di pemerintahan
dia.
Operasi itu mengeksekusi ribuan orang tanpa proses
hukum. Lembaga pemantau HAM mencatat lebih dari 20.000 orang meninggal imbas
kampanye tersebut.
Saat ini, Duterte berada di Belanda dan hendak
diserahkan ke ICC. Berikut isi surat ICC yang meminta Filipina menangkap
Duterte yang dikutip langsung dari situs resmi ICC.
Majelis Pra peradilan (selanjutnya disebut majelis) Mahkamah Pidana
Internasional (selanjutnya disebut pengadilan) menerbitkan surat perintah
penangkapan berdasarkan pasal 58 Statuta Roma (yang selanjutnya disebut
Statuta) untuk Rodrigo Roa Duterte, warga negara Filipina, lahir pada 28 Maret
1945 di Maasin Filipina Selatan.
Kronologi prosedural
Pada 19 April 2021, presidensi menetapkan
situasi di Filipina ke majelis.
Kemudian pada 15 September 2021 mengesahkan
dimulai penyelidikan terhadap situasi di Filipina sehubungan dengan kejahatan
yang berada dalam yurisdiksi pengadilan, yang diduga dilakukan di Filipina
antara 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019 dalam konteks perang melawan
narkoba.
Lalu pada Juni 2022, ada permintaan penangguhan
dari Filipina dan penangguhan investigasi. Jaksa meminta kembali
majelismenginvestigasi situasi di Filipina.
Pada 26 Januari 2023, majelis memberi wewenang ke
jaksa penuntut umum untuk melanjutkan penyelidikan terkait situasi di Filipina.
Lalu pada 19 Juli 2024, majelis banding mengonfirmasi keputusan ini.
Kemudian pada 10 Februari 2025, jaksa penuntut
umum, secara rahasia dan ex parte, mengajukan surat perintah penangkapan untuk
Duterte sebagai tersangka pelaku tak langsung atas kejahatan kemanusiaan yang
dilakukan di Filipina pada 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019 terkait
pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Majelis memutuskan kasus Duterte berada dalam
yurisdiksi pengadilan.
Mengenai waktu yurisdiksi, pengadilan memiliki
yurisdiksi terhadap dugaan kejahatan yang terjadi di Filipina saat masih
menjadi negara pihak.
Sebagai konteks, Filipina di bawah pemerintahan
Duterte menarik diri dari keanggotaan ICC pada 2018. Pengadilan menetapkan
Filipina resmi keluar pada 17 Maret 2019.
Karena dugaan tindakan pidana terjadi pada 1 November 2011 hingga 16 Maret 2019
di wilayah Filipina, maka hal tersebut masuk dalam yurisdiksi pengadilan.
Alasan ICC rilis surat perintah penangkapan
ICC meyakini terjadi "serangan"
yang ditujukan ke warga dengan kebijakan organisasi saat Duterte menjabat
sebagai kepala Pasukan Maut Davao (Davao Death Squad/DDS) dan sebagai kepala
negara.
Berdasarkan materi yang mereka terima, DDS dan
penegak hukum Filipina menargetkan sejumlah besar orang yang diduga terlibat
aktivitas kriminal khususnya berkaitan dengan narkoba.
Majelis menemukan terdapat rangkaian perilaku yang
melibatkan beberapa tindakan terhadap warga di Filipina.
Selain itu, tindakan tersebut awalnya dilakukan
berbagai lembaga pemerintahan otoritas dan badan-badan sesuai kebijakan untuk
mengakhiri kriminalitas di Filipina dengan cara apapun termasuk pembunuhan
terhadap tersangka kriminal.
Majelis meyakini ada alasan masuk akal bahwa
serangan tersebut bersifat meluas dan sistematis; terjadi selama beberapa
tahun, dan ribuan orang tampaknya terbunuh.
Majelis juga menyatakan tuntutan soal penyiksaan
dan pemerkosaan tidak cukup dibuktikan penuntut.
Dengan demikian, kedua dakwaan itu tak bisa
dimasukkan dalam surat perintah penangkapan ini. cnnindonesia.
No Comment to " Isi Surat ICC Minta Filipina Tangkap Eks Presiden Rodrigo Duterte "