KORANRIAU.co- Salah
satu hal yang menonjol dari para ulama Nusantara adalah peran dan
keterlibatannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Spirit ini
berangkat dari nilai-nilai Islam yang meniscayakan setiap manusia hidup dalam
damai, harmoni, dan anti penindasan. Hadratussyaikh Hasyim Asyari dan KH. Ahmad
Dahlan menjadi figur penting ulama bangsa ini yang mengajarkan bahwa bicara
agama berarti bicara kemanusiaan dan kemaslahatan makhluk Tuhan di muka bumi.
Tunisia, tempat saya menimba ilmu, juga memiliki
para ulama dengan karakter yang sama. Di negeri dengan penganut mazhab Imam
Malik itu, para ulamanya meyakini bahwa segala sesuatu yang menghalangi setiap
manusia untuk bahagia, harus dilawan. Sehingga dalam membela kemerdekaan
Tunisia dari kolonialisme Prancis, para ulama di sana turut berperan penting.
Selain itu, para ulama Tunisia seperti Muhammad
Thahir bin Asyur dengan karyanya Ushul Al-Nizham Al-Ijtima'i fi Al-Islam, Abdul
Aziz Al-Tsaʼalaby dengan karyanya Ruh al-Taharuriyyah fi al-Qur'an, dan Thahir
Haddad dengan karyanya Imra'atuna fi Al-Syari'ah wa Al-Mujtama' yang mewarisi
pikiran Ibnu Khaldun itu pun meniscayakan bahwa manusia adalah makhluk sosial
yang butuh terhadap gotong royong serta hidup berdampingan dalam damai.
Dalam konteks ini, saya beruntung karena mendapat pelajaran
dan pengajaran dari para ulama Indonesia dan Tunisia yang mempunyai
karakteristik sama yaitu spirit ajaran agama yang membebaskan. Pada saat yang
sama, spirit dan semangat keberagamaan yang revolusioner untuk membangun peradaban
masyarakat ini juga perlu untuk dihidupkan dan dikembangkan. Sehingga, agama
benar-benar menjadi pedoman hidup yang relevan di setiap zaman.
Sebab itu, penting bagi kita saat ini
mengetengahkan fikih kemerdekaan sebagai sebuah konsep yang lahir dari jati
diri para ulama Nusantara yang pro-aktif berperan sebagai civil society.
Gagasan fikih kemerdekaan juga hadir sebagai upaya memaknai kembali arti dari
kemerdekaan. Jika dahulu para pendiri bangsa melawan kolonialisme dan
imperialisme, maka kini kemerdekaan dapat dimaknai dengan melawan korupsi,
kolusi, dan politik dinasti.
Fikih kemerdekaan menjadi konsep fikih yang
menekankan pada pentingnya kemerdekaan setiap individu. Fikih kemerdekaan
adalah fikih kebudayaan, artinya fikih yang mengobarkan semangat transformasi,
tidak hanya teori, tetapi juga aplikasi. Pada saat yang bersamaan, fikih
kemerdekaan dapat menjadi panduan agar setiap kita mempunyai logika kolektif
dalam hal menentang segala sesuatu yang mencederai nilai-nilai kemanusiaan, etika,
dan moralitas.
Dengan demikian, di tengah permasalahan moral pada
dunia sosial dan politik kini, kita bisa mendorong semua pihak untuk terus
kritis dan bersuara. Tentu dengan semangat yang sama, sebagaimana yang
dicetuskan oleh para ulama Nusantara pada era penjajahan abad ke-20. Melalui
fikih kemerdekaan ini juga diharapkan kita bisa melakukan kajian-kajian baru
terhadap wujud penindasan modern yang dilakukan oleh pihak luar, atau bahkan
bangsa sendiri.
Bung Karno sebetulnya telah menyinggung sejak jauh-jauh
hari bahwa perjuangan kita sekarang akan lebih berat karena melawan bangsa
sendiri. Praktik abuse of power dan menghalalkan segala cara untuk ambisi
kekuasaan pribadi dan kepentingan sekelompok orang menjadi wajah penindasan
baru yang harus sama-sama kita lawan dewasa ini.
Bung Karno, sebagai Bapak Bangsa yang juga disebut
sebagai Pembaharu Islam selalu menggelorakan rethinking of Islam agar Islam
terus relevan. Bung Karno mendorong umat Islam untuk memikirkan kembali
nilai-nilai dan tujuan Islam (maqasid al-syari'ah al-Islamiyyah) yang humanis,
moderat, dan inklusif dan mempunyai dimensi anti penindasan.
Hadrarussyaikh Hasyim Asy'ari sebagai ulama juga
sebenarnya pernah memberikan isyarat mengenai perlunya mengetengahkan fikih
kemerdekaan melalui Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Hal ini sebagai respons
agamawan terhadap problematika sosial yang diyakini sebagai musuh bersama.
Ketika terjadi sebuah penindasan pada hak-hak dasar umat manusia, prinsip dan
nilai-nilai ajaran agama diterjemahkan secara konkret dalam bentuk pembelaan
(al-hifz).
Hifz al-Din, atau menjaga agama, dalam konteks
Nahdlatul Ulama diterjemahkan menjadi membela tanah air. Sebab itu, para ulama
kita menggelorakan semangat hubbul wathan minal iman, artinya membela agama
(hifz al-din) berarti membela negara (hifz al-wathan) atau membela kemanusiaan.
Selain itu, menjaga akal (hifz al-'aql) dalam konteks Muhammadiyah misalnya
diterjemahkan oleh Kiai Ahmad Dahlan menjadi pembangunan sekolah-sekolah bahkan
kini universitas.
Muhammad Thahir bin 'Asyur, ulama besar Tunisia
yang dikenal sebagai mufassir melalui karyanya Maqasid al-syari'ah
al-Islamiyyah mengajak kita agar membaca sebuah teks dalam sudut pandang tujuan
(maqasid) dan maknanya. Yaitu, bahwa tujuan akhir dari syariah adalah kemaslahatan
manusia. Karena bagi Ibnu 'Asyur, tujuan hadirnya agama di muka bumi ini adalah
untuk menjaga tatanan kehidupan umat manusia dan melindungi setiap makhluk
Tuhan dari segala kerusakan dan kekerasan.
Abdul Jabar Rifa'i, seorang cendekiawan modern
asal Irak melalui bukunya yang terbit pada 2021 dengan judul al-Din Wa
al-Karamah al- Insaniyah menjawab pertanyaan atas fenomena ini. Ia menjelaskan
bahwa kita tidak dapat benar-benar memahami agama tanpa terlebih dahulu
memahami manusia beserta kebutuhannya akan makna kehidupan, kehormatan,
kesetaraan, kebebasan, dan kebahagiaan.
Menurut Rifa'i, mendefinisikan ulang manusia
adalah pendekatan yang tepat untuk mendefinisikan kembali makna agama dan
bagaimana kita memahami serta menafsirkan teks-teksnya. Sehingga agama
benar-benar menjadi pedoman hidup yang membimbing manusia untuk mencapai
kehidupan yang harmonis.
Kita menyadari secara jujur bahwa tragedi
kemanusiaan yang terjadi dewasa ini adalah pekerjaan rumah yang hingga kini
belum bisa diselesaikan oleh kita semua sebagai manusia --yang dalam bahasa
al-Quran disebut pemimpin di muka bumi-- yang harus bertanggung jawab dalam
menjaga tatanan kehidupan di dunia.
Konflik Israel-Palestina, perang saudara di Sudan,
hingga fenomena stateless etnis Rohingya cukup sudah menjadi alasan bahwa kita
semua membutuhkan spirit beragama yang berpihak pada kemanusiaan (humanisme
religius). Spirit humanisme religius ini menekankan agar kita menempatkan
manusia secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh para ulama kita di Indonesia,
yang menganut mazhab Syafi'i dan para ulama Tunisia yang menganut mazhab Maliki.
Fikih kemerdekaan menjadi satu konsep penting yang
dapat mewadahi gagasan dan spirit ini. Sebab itu, dalam menyambut Ulang Tahun
Kemerdekaan ke-79 Republik Indonesia ini, seyogianya kita mengetengahkan fikih
kemerdekaan, sebuah jalan dalam memahami kembali arti kemerdekaan dan kebebasan
setiap individu manusia. Fikih kemerdekaan menjadi satu panduan untuk memaknai
betapa pentingnya kita melawan berbagai bentuk penindasan yang mencederai
meritokrasi, kesetaraan manusia, dan keadilan sosial.
Penulis: Nata Sutisna peneliti Pusat Studi Islam dan Sukarno
detik/nor
No Comment to " Fikih Kemerdekaan "