KORANRIAU.co-Saban tahun setiap 10 November, kita memperingati Hari Pahlawan. Peringatan yang digelar untuk mengingat semua jasa para pahlawan, baik yang kita kenal dalam buku-buku sejarah, cerita leluhur, atau pun pahlawan yang namanya bahkan tidak ada di batu nisan karena tidak dikebumikan secara layak. Kita tidak bisa memungkiri deretan pahlawan yang jasanya tak bisa diukur dengan apa pun ketika melawan kekafiran dan penjajahan. Namun, kita kerap lupa memberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan yang berjasa dalam hidup kita.
Selain kedua orang tua, istri/suami, dan saudara-saudara kandung, kita acap lalai mengingat peran guru. Kita lupa peran asisten rumah tangga, sopir, pembersih kebun, pembawa sampah rumah tangga, marbot masjid, atau barangkali lupa akan keberadaan satpam rumah atau komplek. Mereka secara tidak langsung adalah para pahlawan yang sedikit banyak punya andil dalam kemerdekaan kita mendapatkan kenyamanan.
Apa jadinya jika kita tidak punya guru? Apa jadinya jika Anda yang terbiasa diladeni ART sekaligus dibantu menjaga anak ketika kita bekerja, diantarkan sopir, melihat kebun rumah rapi, dan merasa aman ketika satpam rumah atau komplek berjaga pada malam hari, ditinggalkan mereka pulang kampung? Sudah pasti kerepotan bukan?!
Coba ingat-ingat, kapan terakhir kali Anda mengucapkan kata terima kasih kepada mereka? Kapan terakhir kali berbincang santai membicarakan tentang kehidupan mereka? Tentu akan ada rasa sungkan, tetapi perlu diingat mereka semua punya hak mendapatkan kenyamanan bekerja dengan atasan yang pengertian.
Kita tentu sering mendengar guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi kalimat itu hanya semacam selogan omong kosong karena banyak dari kita para muridnya justru lupa akan jasa guru, lupa berkhitmad. Saya jadi terkenang kisah masyhur khitmadnya seorang murid kepada gurunya. Nama murid itu adalah KH Hasyim Asy'ari yang saat menjadi santri di Pesantren Sayikhona Kholil Bangkalan, pernah masuk mencari cincin istri kiai yang nyemplung ke dalam jamban atau WC. Sang guru sedih.
Dengan penuh khidmad, Hasyim muda yang tidak rela melihat gurunya bersedih tanpa pikir panjang langsung menjeburkan diri ke jamban. Setelah menguras hingga berjam-jam, cincin ditemukan. Perbuatan itu dilakukan Kiai Hasyim sebaai bentuk penghormatan total kepada gurunya. Hasilnya, kita tentu tahu, Kiai Hasyim menjadi ulama yang sangat dihormati tak hanya di dalam negeri, tapi juga di negara-negara Islam lain.
Ada lagi kisah penghormatan kepada asisten rumah tangga. Seperti kisah Sarinah, perempuan yang menjadi ibu asuh Presiden pertama RI, Ir Soekarno. Berkat Sarinah, Soekarno kecil mendapatkan cinta yang berlimpah. Berkat Sarinah, Soekarno kecil tumbuh menjadi pribadi yang mencintai orang lain. Tanpa Sarinah, mungkin jalan pemikiran Soekarno akan sedikit berbeda.
Sarinah adalah asisten rumah tangga di kehidupan keluarga kecil Soekemi-Ida Ayu. Dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, karya Cindy Adams, di bab ketiga berjudul Mojokerto: Kesedihan di Masa Muda halaman 35, Soekarno menceritakan hubungan batin antara dirinya dengan seorang gadis bernama Sarinah. Dalam cerita tersebut, terbaca jelas sosok Sarinah sangat berpengaruh membentuk karakter Soekarno kecil hingga tumbuh menjadi pribadi yang menyayangi rakyat jelata.
Soekarno membuka cerita tentang Sarinah dengan lugas: "Di samping ibu ada Sarinah, gadis pembantu kami yang membesarkanku. Bagi kami pembantu rumah tangga bukanlah pelayan menurut pengertian orang Barat. Di Kepulauan kami, kami hidup berdasarkan asas gotong royong kerja sama tolong menolong."
Sarinah tinggal bersama keluarga Soekarno bukan sebagai asisten rumah tangga, melainkan sebagai keluarga. Soekarno menegaskan hal tersebut dengan catatan jika Sarinah tinggal bersama keluarganya, memakan apa yang dimakan keluarganya, dan tidur bersama mereka dalam satu atap.
"Sarinah adalah bagian dari rumah tangga kami. Tidak kawin. Bagi kami dia seorang anggota keluarga kami. Dia tidur dengan kami, tinggal dengan kami, memakan apa yang kami makan, akan tetapi ia tidak mendapatkan gaji sepeser pun."
Kisah dua tokoh di atas sudah lebih dari cukup menjadi contoh jika banyak pahlawan yang mengelilingi kehidupan kita, dengan tanpa atau tidak sengaja kita lupakan.
Jadi, apakah dua kisah dari Soekarno dan Mbah Hasyim di atas belum cukup membakar ragu mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang sedikit banyak sudah berjasa dalam hidup kita? Mereka adalah pahlawan yang jasanya tidak perlu lagi dipertanyakan.republika/nor
No Comment to " Pahlawan tanpa Tanda Tanya (?) "