• Jangan Tanyakan (Lagi) Nasionalisme "Urang" Minang

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Rabu, 16 September 2020
    A- A+


    KORANRIAU.co- Pernyataan Puan Maharani saat mengumumkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Sumatera Barat (Sumbar), Mulyadi-Ali Mukhni untuk Pilkada 2020 menuai kehebohan. Secara spontan Puan menyebutkan harapannya, "Semoga Sumatera Barat menjadi provinsi yang memang mendukung negara Pancasila."


    Pernyataan tersebut kemudian ditimpali oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dengan keheranannya, mengapa masyarakat Sumbar belum menyukai PDIP. Minimnya dukungan bagi PDIP disebutkannya menyulitkan partai untuk menentukan pemimpin di Sumbar. Megawati pun meminta kader-kadernya untuk bekerja keras merebut hati rakyat Sumbar.

    Namun, akibat dari pernyataan Puan, muncul reaksi dari banyak kalangan. Dari komentar yang menyayangkan, kecaman, hingga pelaporan ke polisi. PKB yang awalnya menjadi bagian dari partai koalisi pendukung pasangan Mulyadi-Ali Mukhni mencabut dukungannya. Puncaknya, Mulyadi-Ali Mukhni mengembalikan surat dukungan dari PDIP. Pasangan ini memutuskan hanya didukung oleh Partai Demokrat dan PAN.


    Pernyataan Puan dianggap mengusik rasa nasionalisme masyarakat Minangkabau. Tentunya pernyataan itu, meski spontan, tidak muncul begitu saja. Bisa jadi ada kesadaran yang terbangun dari Puan karena kelompok nasionalis berkali-kali kalah dalam kontestasi politik di sana. Saat pilpres pada 2014, Jokowi yang didukung oleh koalisi yang dipimpin PDIP hanya memperoleh 22% suara. Pada 2019, suara itu justru melorot hingga tersisa 14,05 %.



    Dukungan 12 kepala daerah serta pengalokasian dana yang besar untuk pembangunan infrastruktur di provinsi itu tidak berimbas pada perolehan suara Jokowi di pilpres terakhirnya.


    Barangkali Jokowi juga heran, namun tidak diungkapkannya ke publik. Tetapi pertanyaan Megawati menjadi lebih penting dari sisi politik, mengingat PDIP merupakan the rulling party, ketimbang Jokowi yang hanya tinggal menyelesaikan periodenya hingga 2024. Megawati sepertinya melihat spektrum politik dalam perspektif yang lebih luas. Bukan hanya sebatas jumlah DPT di Sumbar yang relatif kecil dan tidak signifikan.


    Kemenangan politik dengan dalam demokrasi liberal memang hanya ditentukan oleh kuantitas, abai pada kualitas. Pengabaian kualitas inilah yang berakibat panjang, dan situasi kebangsaan saat ini menunjukkan konsekuensi itu. Terbelahnya masyarakat karena politik identitas dikhawatirkan akan semakin menggerus nasionalisme. Sementara di sisi lain ada yang tetap mendapatkan keuntungan dari berbagai peristiwa politik dan sosial yang terjadi.


    Diferensiasi Urang Minang


    Sumbar memiliki diferensiansi kultural dan politik yang asimetris dengan wilayah lainnya. Secara kultur masyarakat Sumbar menganut asas matrilineal, di mana kaum perempuan memiliki determinasi dalam adat. Maka tidak heran jika beberapa tokoh perempuan Sumbar muncul di pentas sejarah nasional, seperti Rohana Kudus, Rasuna Said, Rahma El Yunusiah, dan seterusnya.


    Para pendiri bangsa juga dikenal banyak berasal dari Sumbar, sebut saja Tan Malaka, Hatta, Sutan Syahrir, Muh. Yamin, Agoes Salim, Natsir, dan sederet panjang nama lainnya.


    Untuk memahami arti pentingnya Sumbar, tidak cukup hanya menyebutkan tokoh-tokoh politik di masa lalu, tetapi juga peristiwa-peristiwa politik yang terjadi. Apalagi hanya sebatas mengapresiasi identitas budaya dari satu serpihan kecil tanpa mendalaminya lebih jauh, misalnya kuliner Minang yang memang terkenal lezat. Kuliner berdekatan dengan peradaban. Semakin maju peradaban di satu wilayah, maka kita akan merasakan santapan kuliner lokal yang nikmat.


    Biasanya politisi dengan mudah mengumbar simbol-simbol untuk mendekatkan emosi rakyat. Ketika tepat dilakukan, maka emosi positif yang didapat dan dukungan pun diraih, sebaliknya pun demikian.


    Sumbar memiliki catatan sejarah yang panjang sebagai wilayah dengan eksistensi politik-ekonomi yang signifikan. pada abad ke-19, kota Padang, ibu kota Sumbar merupakan kota paling metropolitan di Sumatera (Rusli Amran, 1988). Jejak itu dapat dilihat dari bangunan-bangunan tua yang masih terawat rapi dan fungsional di kota Padang. Kekuasaan kolonial begitu dominan di wilayah itu setelah meredakan pertikaian antara kaum adat dan Islam di sana.


    Islam sendiri terlebih dahulu masuk dan berakulturasi dengan tradisi lokal. Di Sumbar dikenal tiga kelompok tarekat, yakni Syattariah, Naqshbandiyyah, dan Sammaniyah. Dua tarekat pertama yang disebut berkembang luas di wilayah Sumbar, sedang yang terakhir di sedikit daerah. Besarnya dua organisasi tarekat itu, Syattariah dan Naqshbandiyyah berujung konflik pengaruh dengan dasar-dasar perbedaan di keduanya (Oman Fathurahman, 2008).


    Namun konflik yang lebih besar lagi muncul, ketika tiga orang putera Minang kembali ke kampung halamannya setelah menuntut ilmu di Mekah. Ketiga orang tersebut adalah Haji Miskin, Haji Piyobang, dan Haji Sumanik. Mereka datang dengan membawa ajaran Wahabi yang berkembang di Arab. Praktik tarekat dan tasawuf dianggapnya sesat, bidah, begitu juga ritual-ritual adat lainnya. Pertikaian inilah yang kemudian mengundang intervensi Belanda hingga terjadilah Perang Padri.


    Perang itu berakhir dengan kemenangan Belanda. Saat itulah banyak orang-orang Eropa yang menetap di Sumbar. Maka tidak heran jika sejak lama nama-nama orang yang berasal dari Minang banyak yang mirip dengan nama-nama Barat.


    Pemikiran Barat pun juga mempengaruhi masyarakat di sana. Jika saat itu paham liberalisme sudah mulai dominan, reaksi dari paham tersebut di Eropa yakni komunisme juga muncul di Sumbar. Pemberontak komunis terjadi pada 1927 di Silungkang, Sawah Lunto. Pemberontakan komunis ini melibatkan tokoh-tokoh agama dan masyarakat adat di Sumbar. Kendati gagal, peristiwa politik itu mempengaruhi gerakan perlawanan terhadap Belanda yang mulai masif di Nusantara (Mestika Zed, 2004).


    Dari riwayat sejarahnya, di Sumbar bersemai berbagai macam aliran politik dan keagamaan. Secara tradisi lokal pun hingga kini masih dipegang kerapatan adat dalam bentuk pemerintahan nagari yang berbeda dengan desa-desa di daerah lain di Indonesia. Walau sempat dihilangkan peran fungsionalnya pada masa Orde Baru, saat ini nagari diakui sebagai satu bentuk pemerintahan yang luasnya melebihi beberapa desa di daerah lain, kendati masih di bawah kecamatan.


    Wilayah nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki batas-batas wilayah tertentu, dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan filosofi adat Minangkabau. Kewenangannya diatur melalui perda masing-masing kabupaten di Sumbar. Bakal calon wali nagari ditetapkan melalui persyaratan yang ketat; selain harus memiliki pengetahuan tentang adat, juga belum pernah melanggar adat yang diputuskan oleh Kerapatan Adat Nagari.


    Persyaratan lainnya terkait dengan komitmen kebangsaan, kesetiaan pada Pancasila, dan sebagainya. Calon wali nagari juga tidak boleh partisan politik, dan jika berasal dari unsur birokrasi atau TNI-POLRI diharuskan mengundurkan diri. Selanjutnya calon-calon wali nagari tersebut dipilih melalui mekanisme pemilihan yang demokratis.


    Dari persyaratan yang ketat dan proses yang dirancang demokratis tersebut dapat asumsikan bahwa nasionalisme urang Minang telah tertempa sejak dari pemilihan pemimpin politik lokal terendah di sana.


    Pengaburan Sejarah


    Kiprah masyarakat Minang dari berbagai peristiwa sejarah penting tidak serta merta memposisikannya Sumbar menjadi wilayah istimewa di mata pemerintah pusat. Berbeda dengan Yogyakarta misalnya. Catatan historis Yogyakarta yang pernah menjadi ibu kota negara serta dukungan Sultan terhadap kedaulatan republik menjadikan daerah tersebut sebagai Daerah Istimewa.


    Kota Bukittinggi di Sumbar juga pernah menjadi pusat pemerintahan pada 1948-1949. Namun berbagai peristiwa politik setelahnya menjadi catatan sejarah yang berakibat fatal atas jasa-jasa masyarakat di sana sebelumnya.


    Bangsa kita telah disandera oleh ketidakjelasan sejarah. Ketidakjelasan ini mengakibatkan sulitnya objektivitas diperoleh dalam berpikir dan bersikap. Terlebih lagi saat kontestasi politik berlangsung, semisal dua pemilihan presiden terakhir (2014 dan 2019). Ketidakjelasan sejarah justru diumbar sebagai amunisi perang tanding narasi yang berdampak pada pembelahan masyarakat. Rakyat terpolarisasi dan tersegmentasi bukan karena pilihan objektif tapi prasangka, kebencian, dan dendam.


    Pola pikir dengan dasar itu adalah penyakit kolektif yang mengendap dalam alam bawah sadar. Potensi perpecahan menanti ke depan, karena hal ini berbeda dengan sekadar masalah ekonomi, tetapi masalah ideologi yang pada dasarnya tidak dipahami secara dalam oleh para pengikutnya. Cara pandang berdasarkan prasangka dan kemarahan kendati pilpres telah usai masih tetap subur di daerah-daerah tertentu di Indonesia.


    Terutama di daerah-daerah yang di masa lalu mengalami konflik seperti halnya Sumatera Barat. Di daerah ini pernah terjadi beberapa peristiwa sejarah penting. Pada 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949, Bukittinggi pernah menyelamatkan eksistensi pemerintahan Republik Indonesia. Saat Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Agoes Salim ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948, dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ibu kotanya Bukittinggi.


    Peristiwa bersejarah ini kurang mendapat apresiasi dari negara. Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menetapkan 19 Desember melalui Keputusan Presiden No 28 tahun 2006 sebagai Hari Bela Negara, namun secara tegas peringatan tersebut tidak dinyatakan sebagai peristiwa terbentuknya PDRI.


    Dugaan yang muncul, sejarah PDRI dilekatkan pula dengan peristiwa 10 tahun kemudian, tepatnya 15 Pebruari 1958 sebagian besar tokoh di PDRI melakukan otokritik terhadap pemerintah pusat dengan mendeklarasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Deklarasi ini dianggap sebagai gerakan separatisme memisahkan diri dari NKRI. Reaksi yang dilakukan adalah operasi militer untuk mengembalikan kedaulatan Indonesia.


    Akibat dari operasi militer tersebut, ribuan warga sipil tewas di Sumbar. Hal inilah yang membuat trauma berkepanjangan bagi masyarakat di sana.


    Politik Nasional yang Mengecewakan


    Dari beberapa pernyataan tokoh PRRI, gerakan yang mereka lakukan adalah bentuk otokritik terhadap pemerintahan pusat yang dianggap mulai menyimpang dari nilai-nilai dasar demokrasi. Terlepas adanya campur tangan asing, pemerintahan Soekarno dianggap mulai otoriter. Pembubaran parlemen hasil Pemilu 1955, pembubaran konstituante, dan mulai merajalela korupsi di tubuh pemerintahan menjadi pemicu dari gerakan separatis tersebut.


    Dengan semangat revolusi, beberapa eksponen PDRI akhirnya mendeklarasikan PRRI. Di dalam pemerintahan tersebut terdapat juga unsur Islam dan Sosialis. Hingga tidak tepat menganggap PRRI adalah gerakan kedaerahan, sektoral dan sektarian (Audrey Kahin,2008).


    Peristiwa-peristiwa besar di masa lalu, kerap juga membuat kekonyolan sejarah turunan secara parsial. Contoh yang bisa diperdalam lebih lanjut adalah sejarah kedirgantaraan di Indonesia. Dalam buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia, Perjuangan AURI 1945-1950 (Yayasan Obor 2008), pesawat pertama yang dimiliki Indonesia dibeli pada Desember 1947, Avro Ansom VH-PBY. Pesawat itu berasal dari sumbangan ibu-ibu dan warga masyarakat di Bukittinggi.


    Namun, nahas pesawat tersebut mengalami kecelakan di Tanjung Hantu, Malaya saat akan kembali ke Bukittinggi dan menewaskan Pilot Iswahyudi dan navigatornya, Halim Perdana Kusumah. Keduanya adalah tokoh pelopor penerbangan di Indonesia. Sebagai gantinya pada Maret 1948, rakyat Bukittinggi mengumpulkan sumbangan untuk membeli pesawat dengan jenis yang sama. Pesawat pertama yang dibeli pada 1947 diregistrasi sebagai RI 003, dan pesawat penggantinya RI 004.


    RI 004 adalah pesawat Dakota versi militer sewaan milik perorangan, Bob Earl Freegen, veteran militer berwarga negara AS. Pesawat tersebut sudah beroperasi sejak 1947 dan hilang pada Oktober 1948, saat melakukan penerbangan dari Yogyakarta ke Bukittinggi.


    Di buku yang sama, dituliskan registrasi RI 001 adalah pesawat yang dibeli oleh sumbangan rakyat Aceh. Sumbangan ini bermula dari pidato Presiden Sukarno pada 16 Juni 1948 di Aceh dan berhasil menggetarkan dan menggerakkan hati rakyat Aceh untuk mengumpulkan sumbangan guna membeli pesawat. Sumbangan yang terkumpul dengan nilai nominal setara $ AS 130.000 itu hanya dilakukan selama 2 hari.


    Atas pengorbanan dan jasa rakyat Aceh tersebut, pesawat Dakota yang dibeli diberi registrasi RI 001 Seulawah. Pertanyaannya, mengapa penomoran tersebut tidak mengikuti tahun? Dari penuturan seorang veteran militer yang tinggal di Padang Panjang kepada saya, dia juga menyebutkan pesawat pertama yang dimiliki Indonesia adalah hasil sumbangan dari rakyat Bukittinggi. Dia menceritakan kisah adanya pesawat itu.


    Presiden Soekarno berpidato di Bukittinggi dan pidatonya berhasil menggerakkan aksi sukarela rakyat Bukittinggi terutama kaum ibu-ibu untuk menyumbangkan perhiasan yang mereka milik. Dia menyakini pesawat itu bernomor register RI 001 dan replika pesawat tersebut ada di daerah Gadut, Bukittinggi.


    Saat kami bersama-sama melihat replika pesawat itu di Gadut, terlihat pancaran kekecewaan di mata pria lanjut usia tersebut. Di bagian ekor replika pesawat itu tertulis nomer register RI 003. Di bawah replika pesawat dibuat bangunan penyanggah yang berisi ornamen berbentuk relief-relief yang menggambarkan sejarah pesawat itu. Kekecewaannya bertambah, karena tidak ada relief Bung Karno yang berpidato, melainkan Bung Hatta.detikcom/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Jangan Tanyakan (Lagi) Nasionalisme "Urang" Minang "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com