• Memidana Pengambil Paksa Jenazah Pasien Corona

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 16 Juni 2020
    A- A+

    KORANRIAU.co- Dalam sepekan terakhir, peristiwa pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 oleh keluarganya marak terjadi. Detikcom (10/6) mengabarkan bahwa kejadian di Makassar adalah terbanyak di Indonesia yang tersebar di empat rumah sakit.

    Menghadapi situasi yang demikian, pihak kepolisian bertindak tegas dengan cara melakukan proses hukum kepada sejumlah orang yang diduga terlibat dalam pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19. Tindakan kepolisian tersebut di satu sisi bertujuan menegakkan hukum guna mencegah semakin masifnya pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 oleh keluarga pasien. Di sisi lain, hal itu menarik didiskusikan secara akademik.

    Kurang Relevan

    Jamak diketahui bahwa sejak diformulasi, hukum pidana dikonsepsikan sebagai hukum yang berada pada lingkaran yang paling luar dari semua bidang hukum. Konsep hukum yang demikian kemudian dikenal dengan prinsip ultimum remedium.

    Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh mantan Menteri Kehakiman Belanda Modderman ketika membahas rancangan Wetboek van Strafrecht 1809 (KUHP). Modermann menekankan bahwa hukum pidana hanya dapat digunakan ketika suatu tindakan tidak dapat lagi dicegah melalui sarana hukum lainnya, seperti hukum administrasi dan keperdataan. Hal itu merupakan suatu qonditio sine qua non.

    Prinsip tersebut dibantah oleh pemikir hukum pidana Belanda lainnya, seperti A. Mulder. Dalam kuliah terakhirnya di Leiden University berjudul Humane spaningen in het strafrecht, ia menolak prinsip ultimum remedium. Mulder secara lugas menyatakan bahwa tujuan hukum pidana sama dengan bidang hukum lainnya yakni menegakkan hukum dengan karakter tersendiri adalah menambahkan pemberian derita atau nestapa kepada pelaku.

    Sementara itu, van Bemmelen membela pandangan Modderman. Dalam Het materiele strafrecht algemeen deel (1979) ia menegaskan bahwa konsep ultimum remedium mesti dipahami karena hukum acara pidana juga memberikan wewenang yang luas kepada kepolisian dan kejaksaan. Hal itu membuka peluang terjadinya kesewenang-wenangan aparat. Maka hukum pidana mesti digunakan dengan cara yang sangat hat-hati.

    Dengan demikian, makna ultimum remedium adalah bahwa hukum pidana mesti digunakan secara selektif. Ketika sarana hukum lain tidak efektif lagi digunakan untuk menanggulangi pelanggaran hukum, maka pada saat itulah hukum pidana difungsikan. Sebaliknya jika bidang hukum lainnya masih bisa difungsikan, maka hukum pidana sebaiknya dihindari penggunaannya sedini mungkin.

    Penggunaan sarana hukum pidana dalam kasus pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 sesungguhnya kurang relevan dengan karakter hukum pidana yang ultimum remedium tersebut. Di tengah mewabahnya Covid-19, psikologi publik mengalami goncangan yang hebat sehingga rentan panik dan bertindak emosional. Belum lagi adanya tekanan ekonomi sebagai faktor yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja.

    Intinya, penegak hukum seharusnya mengedepankan paradigma pencegahan ketimbang penindakan. Salah satu cara yang mesti dilakukan oleh kepolisian adalah menempatkan personelnya di rumah sakit tempat perawatan pasien Covid-19. Ketika pencegahan telah dilakukan tetapi masyarakat masih saja mengambil paksa jenazah pasien Covid-19 sehingga dapat memicu terjadinya kerusuhan, maka pada titik itulah hukum pidana dapat difungsikan secara maksimal.

    Dalam pembacaan Enschede, hal itu disebut sebagai pengecualian guna menghindari kerugian yang jauh lebih besar.

    Represif vs Preventif

    Dalam pelbagai literatur, tujuan pidana secara garis besar diarahkan untuk memberantas kejahatan secara represif sebagai ciri khas teori absolut dan mencegah terjadinya kejahatan secara preventif sebagai teori relatif. Di luar dua teori tujuan pidana itu, masih ada teori gabungan yang menitikberatkan pada pembalasan dan perlindungan masyarakat secara bersamaan.

    Penegakan hukum terhadap pelaku pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19 sesungguhnya menempatkan penyidik kepolisian dalam dua kutub yakni memberantas atau mencegahnya alias represif versus preventif.

    Jika pilihannya adalah represif, maka penyidik secara alami akan sigap menggunakan pelbagai peraturan yang dapat digunakan untuk menjerat para pelaku. Cara berpikir yang demikian, seperti yang dikatakan oleh Montesquieu, penegak hukum ibarat corong dari undang-undang (qui prononce les paroles de la loi). Konsekuensinya, polisi atau jaksa tidak lebih seperti robot yang hanya mengikuti kehendak undang-undang semata.

    Sebaliknya jika jalan preventif yang ditempuh, maka kepolisian akan melakukan pencegahan dalam dua hal yakni pencegahan umum dan pencegahan khusus. Pencegahan umum adalah mencegah masyarakat dari tindakan terlarang sedangkan pencegahan khusus ditujukan kepada penjahat agar tidak kembali melakukan kejahatan.

    Dalam konteks itu, fokus penegak hukum adalah berupaya sedini mungkin menghindari terjadinya kejahatan di tengah-tengah masyarakat. Secara normatif hal ini selaras dengan fungsi kepolisian dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian yakni memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

    Dalam bayangan saya, kepolisian idealnya mengedepankan corak berpikir yang preventif. Hal ini akan sangat bermanfaat sebab situasi dan kondisi masyarakat yang serba sulit justru dapat memicu berbagai tindakan yang kontra produktif dengan apa yang diharapkan oleh aparat penegak hukum. Ketertiban masyarakat di masa pandemi Covid-19 sebaiknya dihadapi dengan cara yang bijak oleh kepolisian.

    Maka tepat kiranya yang dikatakan oleh Grotius, puniendis, nemo est ultrameritum, intra meriti vero modum magis aut minus peccate puniuntur proutilitate. Artinya, penderitaan memang wajar ditanggung oleh pelaku kejahatan, namun kemanfaatan sosial akan menentukan berat ringannya derita yang layak dijatuhkan. Kemanfaatan sosial tersebut yang mesti diperhatikan oleh kepolisian dalam memproses pelaku pengambilan paksa jenazah pasien Covid-19.

    Kekeliruan Substansi Hukum

    Masalah wabah penyakit di Indonesia sesungguhnya telah diatur dalam UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (UU Wabah Penyakit Menular). Meskipun begitu, ada pula UU No. 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan (UU Karantina Kesehatan) yang juga implisit mengatur mengenai wabah penyakit. Pertanyaan kemudian, peraturan mana yang tepat digunakan?

    Secara teori, dalam hukum pidana dikenal asas lex specialis sistematis adalah objek dari definisi umum diatur lebih lengkap dalam ketentuan khusus. Dalam hal ini, ada kekhususan dari ketentuan khusus yang sudah ada. Untuk mengenalinya, ciri khas ketentuan yang demikian, memiliki adresat tersendiri dan lebih rinci memberi pengaturan.

    Merujuk pada asas lex specialis sistematis tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika terjadi wabah penyakit menular seperti Covid-19 saat ini, maka peraturan yang mesti digunakan adalah UU Wabah Penyakit Menular. Ketentuan ini merupakan aturan yang lebih khusus ketimbang UU Karantina Kesehatan.

    Maka kepolisian seharusnya merujuk pada UU Wabah Penyakit Menular ketika menyidik tindakan pengambilan paksa jenazah Covid-19, tepatnya pada Pasal 14. Bukan dengan merujuk pada Pasal 93 UU Karantina Kesehatan. Jika hal itu dipaksakan, maka terbuka peluang adanya eror in juris atau kesesatan penerapan hukumnya.

    Hariman Satria dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari/detikcom

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Memidana Pengambil Paksa Jenazah Pasien Corona "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg