• Takdir Negara Lautan

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Rabu, 14 Agustus 2019
    A- A+
    KORANRIAU.co-"Indonesia bukan negara kepulauan, tapi wilayah lautan yang ditaburi pulau-pulau."

    Kalimat di atas mungkin sudah sering kali kita dengar. Hanya sayangnya masih sangat sulit masuk ke kesadaran kolektif kita. Padahal, kalimat tersebut sangat substansial dan paradigmatik. Karena ini terkait dengan kesadaran akan jati diri bangsa.

    Bila kita gunakan kaidah definisi dalam logika, yang harus terdiri setidaknya atas genus (jenis) dan diferensia (faktor pembeda), maka bagi Indonesia "lautan" adalah diferensia-nya.

    Sebagaimana kita tahu bahwa segala sesuatu adalah unik. Itu sebabnya, segala sesuatu memiliki ciri pembeda, di mana hal tersebut akan menjadi identitas dasar yang tanpanya ia akan kehilangan jati dirinya sebagai sesuatu itu.

    Bila dimaknai lebih jauh, faktor pembeda ini adalah sesuatu yang unik, dan sekaligus menjadi sumber eksistensinya. Sebab hanya dengan itu dia bisa dirumuskan sebagai sesuatu secara definitif. Ketika definisinya sudah jelas, barulah dia bisa dikenali, kedudukannya diletakkan, dan nilainya ditentukan.

    Dalam kasus Indonesia, jika ada sesuatu yang menjadi ciri pembeda negara ini dari negara lain di dunia -- yang dengannya ia tidak bisa diartikan lain selain Indonesia-- maka hal itu adalah lautannya, bukan pulau, gunung, ataupun hasil buminya. Dengan demikian, lautan adalah sumber eksistensi sekaligus juga jati diri bangsa Indonesia. Hanya di sinilah Indonesia secara hakiki bisa dikenali, dipahami, dan dimaknai.

    Tapi sayangnya, sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdiri, atau bahkan lebih lama dari itu, anak-anak Nusantara seperti tercerabut dari jati dirinya. Sebagaimana dikisahkan Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya Arus Balik, sejak masuknya kolonialisme bangsa Eropa, kita diusir dari lautan, dipaksa masuk ke darat, dan secara perlahan kehilangan jati dirinya.

    Sejarah Laut Nusantara

    Berkaca pada sejarah, mungkin benarlah apa yang dikatakan oleh Pram. Karena hampir semua kekuatan yang menguasai lautan Nusantara akan secara otomatis berpotensi membentuk karakter seluruh kepulauan di Nusantara. Dengan kata lain, bila ditinjau dari perspektif strategis, untuk membentuk karakter kepulauan di Nusantara tidak perlu membentuk satu per satu pulau-pulau yang ada di dalamnya. Cukup kuasai lalu ubah warna lautannya, maka setiap pulau akan secara otomatis berubah dengan sendirinya.

    Dulu, ketika Empu Nala berhasil membangun kekuatan laut Majapahit, mereka langsung menjelma menjadi adidaya baru di Nusantara. Dengan adanya armada inilah, Patih Gajah Mada berhasil mempersatukan Nusantara. Memasuki abad ke-15, imperium Majapahit mengalami kemunduran setelah serangkaian perang saudara. Identitas laut Nusantara kemudian digantikan oleh Kesultanan Malaka yang mendapat dukungan langsung dari armada laut China yang dikomandani oleh Laksamana Cheng Ho.

    Dengan adanya dukungan politik dan militer dari China, Kesultanan Malaka menjelma menjadi pasar global yang menjadi pusat ekonomi di sepanjang jalur pelayaran Samudera Hindia hingga ke Samudera Pasifik. Di sinilah komoditas dari seluruh pulau di Nusantara bertemu dan dipertukarkan dengan komoditi dari seluruh dunia.

    Menurut M.C. Ricklefs (1991), sejak adanya Malaka, seluruh komoditas di gugusan pulau Nusantara dikirim ke sini. Sehingga membentuk satu sistem jaring perdagangan tersendiri. Di Malaka, sistem perdagangan Indonesia itu dihubungkan dengan jalur-jalur yang membentang ke barat sampai India, Persia, Arabia, Suriah, Afrika Timur, dan Laut Tengah; ke utara sampai ke Siam dan Pegu; ke timur sampai China dan mungkin Jepang. Ini adalah sistem perdagangan yang terbesar di dunia masa itu.

    Dengan adanya Malaka, laut Nusantara makin semarak, progresif, dan makmur. Sejumlah kesultanan tumbuh bak cendawan di musim hujan. Dan secara otomatis, kohesivitas antarpulau-pulau makin erat dan saling tergantung satu sama lain.

    Sayangnya, takdir hidup Kesultanan Malaka hanya berkisar satu abad. Simpul perdagangan dunia ini seketika hancur ketika armada laut Portugis menyerang Malaka pada November 1511. Setelah itu, laut Nusantara dikuasai sepenuhnya oleh Portugis. Gugusan pulau yang ada di Nusantara pun memasuki fase terkelam dalam sejarah peradabannya, yaitu Kolonialisme.

    Meski begitu, jejak yang ditinggalkan Malaka di laut Nusantara tidak bisa sepenuhnya dihapus oleh kolonialisme. Alih-alih, apa yang ditinggalkan Malaka justru menjadi antitesis kolonialisme. Seperti bahasa Melayu yang kemudian menjadi instrumen penting untuk pemersatu setiap pulau di Indonesia. Serta, yang paling penting --kohensivitas yang sudah dibentuk sebelumnya-- melahirkan "perasaan senasib sepenanggungan" antara masyarakat di setiap gugusan kepulauan Nusantara. Kedua variable ini kemudian menjadi instrumen utama penyusun ide persatuan nasional, yang pada 1945 terobjektifikasi ke dalam bentuk NKRI.

    Refleksi Kemerdekaan

    Maka demikianlah nilai strategis laut bagi bangsa Indonesia. Tapi sayangnya, sejak awal Kemerdekaan, terlebih ketika masa Orde Baru, orientasi pembangunan bangsa ini justru ke darat, bahkan cenderung memunggungi lautan.

    Selama 74 tahun berdiri, negara ini tergopoh-gopoh mencari formula untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diamanatkan dalam Pancasila. Tapi hasilnya, alih-alih terwujud cita-cita nasional itu, sejumlah ironi malah terjajar di hadapan kita; mulai dari ketimpangan ekonomi antar pulau, hingga ancaman disintegrasi bangsa yang terus bereskalasi.

    Sebagaimana kita tahu bahwa wilayah negara ini 2/3-nya adalah lautan. Ketika konsep laut disamarkan dari imajinasi kebangsaan, kita akan terpecah belah dalam heterogenitas yang kompleks; kita akan menjadi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan seterusnya. Serta akan terperangkap dalam narasi persatuan yang rumit. Hanya dari lautlah daur hidup setiap pulau bisa diorkestrasi secara benar. Hanya dengan menghidupkan lautan, Indonesia bisa benar-benar hidup. Dan, hanya dari sini pula keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bisa diwujudkan.

    Dengan demikian, bertepatan dengan bulan peringatan 74 Tahun Kemerdekaan Indonesia, sudah saatnya bangsa ini dikembalikan pada nature-nya sebagai negara lautan. Karena semua jargon-jargon kebangsaan akan tak bermakna selama jati diri bangsa itu diabaikan.

    Sebenarnya kita cukup optimistis ketika lima tahun yang lalu, Jokowi datang dengan konsep "Poros Maritim Dunia". Tapi sayangnya, setelah lima tahun berlalu, konsep itu terus mengawang-awang, tidak jelas definisinya, apalagi wujud konseptualnya. Alih-alih, pemerintahan Jokowi periode pertama justru sibuk mengurusi sirkulasi daratan dengan membangun sejumlah infrastruktur jalan dan jembatan.

    Memang ada sejumlah terobosan yang dilakukan pemerintah di bidang maritim. Tapi itu tidak terlalu signifikan bila dibanding dengan pembangunan yang terjadi di daratan. Meski begitu, kita tetap berharap, setelah lima tahun membangun sejumlah infrastruktur daratan, inilah saatnya Jokowi menatap laut, dan mulai mengorkestrasi gugusan pulau di Nusantara. Sebab bangsa ini tidak akan pernah menjemput takdir penciptaannya sampai dia menjadikan laut sebagai paradigma pembangunannya.

    Penulis: Wim Tohari Daniealdi staf pengajar di FISIP Universitas Pasundan Bandung.(detikcom/nor)

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Takdir Negara Lautan "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg