KORANRIAU.co,PEKANBARU- Ahli Pidana Fakultas Hukum Universitas Andalas
Padang (UNAND) Prof Dr H Elwi Danil SH MH mengungkapkan adanya keteledoran Badan
Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) dalam menyelesaikan
konflik tumpang-tindih tanah, yang mengakibatkan munculnya Sertifikat Hak Milik
(SHM) di atas lahan milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab).
Hal itu diungkapkan Elwi saat memberikan keterangan ahli dalam persidangan lanjutan
perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan SHM di atas lahan milik Pemkab
Inhu, Senin (5/8/25) di Pengadilan
Tipikor Pekanbaru.
Dalam perkara ini, duduk sebagai terdakwa Abdul Karim sebagai juru ukur di Kantor Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Inhu dan Zaizul Lurah Pangkalan Kasai.
Berawal ketika Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dipimpin oleh Kepala Seksi
Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri Inhu, Leonard Sarimonang Simalango SH MH,
menggali keterangan Ahli terkait unsur-unsur pasal yang didakwakan.
Namun, usai ahli pidana memberikan jawaban atas pertanyaan JPU, Ketua
Majelis Hakim, Jonson Prancis SH MH, mengambil alih dengan pertanyaan panjang
dan bernada kritis. Jonson menyoroti tindakan Pemkab Inhu yang dinilainya
lamban dalam proses balik nama aset milik daerah.
Menurut Jonson, kasus ini bermula saat Pemkab Inhu membeli lahan seluas 6
hektare pada tahun 2003 yang rencananya akan dibangun pasar. Lahan tersebut
telah bersertifikat pada 2004, setelah pembelian bertahap senilai sekitar Rp1,7
miliar. Namun, pada 2015, muncul sertifikat atas nama Martinis (Almarhum) yang
mengklaim sebagian lahan tersebut berdasarkan Surat Keterangan Ganti Rugi
(SKGR) dari tahun 1996.
Akan tetapi lanjutnya, permohonan balik nama oleh Pemkab pada 2022 ditolak
BPN karena sertifikat Martinis sudah terdaftar. Sehingga muncul masalah tumpang
tindih kepemilikan muncul.
"Pertanyaan saya, apakah dengan ditolaknya permohonan balik nama
tersebut bisa dikatakan telah terjadi kerugian negara? Lalu siapa yang patut
dipersalahkan? Apakah mereka yang tidak mendaftarkan aset sejak awal, atau yang
menerbitkan sertifikat Martinis?" tanya Jonson, mempertanyakan posisi
Pemkab Inhu dalam konflik ini.
Tak berhenti di situ, Jonson kembali menyoroti posisi hukum sertifikat
Martinis. "Sertifikat Martinis yang terbit tahun 2015, apakah dapat
dinyatakan batal demi hukum? Karena dalam hukum pertanahan, jika satu bidang
tanah sudah bersertifikat, maka tidak boleh ada sertifikat lain di atas tanah
yang sama,"tanya hakim Jonson.
Ia pun menekankan bahwa kondisi ini membuat Pemkab tidak bisa balik nama,
dan menyebutnya sebagai 'hangus atau total loss'.
"Bagaimana hukum pidana melihat hal seperti ini? Apakah ini hanya
sekadar pelanggaran administrasi, atau masuk ranah pidana seperti yang
didakwakan oleh Jaksa?" tanya Jonson kembali, dengan nada mempertanyakan
konstruksi dakwaan JPU.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Elwi Danil justru menegaskan bahwa inti
permasalahan tidak terlepas dari peran BPN sebagai institusi penerbit
sertifikat. Menurtunya, BPN Inhu dinilai lamban dalam menyelesaikan masalah
tersebut.
"Ketika terjadi tumpang tindih, BPN sebagai lembaga negara yang
berwenang seharusnya proaktif menyelesaikan persoalan ini. Pemkab Inhu sudah
menyampaikan keberatan, tetapi BPN tidak menentukan sikap,"tegas Elwi
melalui video conference.
Masih kata Elwi, hanya pengadilan dan BPN sebagai penerbit sertifikat dan
yang berwenang membatalkan sertifikat. "Tidak boleh orang selain yang dua itu yang menyatakan bahwa sertifikat ini tidak
berlaku, tidak sah," tegasnya lagi.
Elwi mengungkapkan, kekisruhan ini terjadi karena BPN tidak menjalankan
fungsinya secara proaktif. Bahkan, ia menekankan bahwa dalam perkara ini, bukan
permohonan balik nama oleh Pemkab yang menjadi persoalan, tetapi penerbitan
sertifikat atas nama Martinis yang tidak sesuai prosedur.
"Ada aturan-aturan mengenai penerbitan sertifikat yang
dilanggar,"paparnya.
Kemudian, Elwi juga menegaskan bahwa
pelanggaran prosedur yang dilakukan telah mengakibatkan kerugian negara karena
negara tidak dapat menggunakan aset yang sudah dibeli.
"Kalau ada aturan yang dilanggar dan merugikan keuangan negara, itu
melawan hukum. Bukankah negara, ketika dia membutuhkan lahan tersebut, tidak
bisa menggunakannya karena ada sertifikat orang lain di atas itu. Jadi saya
kira ini lah yang dijadikan titik tolak oleh Jaksa Penuntut Umum dalam konteks
membawa perkara ini ke pengadilan," pungkas Elwi.
Perbuatan korupsi yang dilakukan kedua
terdakwa terjadi pada tahun 2015-2016 silam. Berawal ketika Martinis (almarhum)
mengajiukan pembuatan SHM tanah miliknya seluas seluas 23.073
M2 yang terletak di Kelurahan Pangkalan Kasai Kecamatan Siberida.
Atas permohonan itu, terdakwa Karim selaku
Petugas Ukur tidak melakukan pemeriksaan peta pendaftaran atau peta dasar
pendaftaran atau peta lainnya, pada lokasi yang dimohon secara keseluruhan pada
bidang tanah yang dimohonkan.
Terdakwa mengetahui pada sekitar bidang
tanah tersebut terdapat bidang tanah milik Pemerintah Daerah Kabupaten
Indragiri Hulu. Selanjutnya sebelum melakukan pengukuran Terdakwa
tidak ada menetapkan batas-batas bidang tanah yang
dimohonkan Martinis.
Pada saat Terdakwa melakukan pengukuran
tanah tersebut, juga mengetahui bahwa sempadan yang dihadirkan
oleh Martinis berbeda dengan yang tercantum dalam alas hak yang
diajukan sebagai dasar permohonan. Namun demikian, Terdakwa tetap melakukan
pengukuran tanpa memastikan kebenaran lebih lanjut mengenai legalitas sempadan
dan status tanah.
Terdakwa hanya berdasarkan pengakuan dari
pihak sempadan yang ditunjuk oleh pihak pemohon, tanpa adanya bukti kepemilikan
atau dokumen penguasaan atas tanah sempadan tersebut. Sehingga menghasilkan
gambar ukur yang kemudian digunakan sebagai dasar untuk penerbitan Peta Bidang
Tanah.
Selanjutnya peta bidang tanah menjadi
salah satu data yuridis pendukung yang wajib diperiksa oleh terdakwa Zaizul
selaku Panitia A. Namun Zaizul yang juga sebagai Lurah Pangkalan
Kasai dalam melaksanakan tugasnya tidak meneliti data yuridis bidang tanah yang
dimohonkan Martinis secara lengkap.
Terdakwa Zaizul juga tidak ikut melakukan
pemeriksaan lapangan untuk memastikan kebenaran hasil pengukuran Terdakwa
Karim. Termasuk alas hak dan sempadan yang diajukan oleh Martinis .
Padahal, Zaizul mengetahui disekitar lokasi tanah yang dimohonkan Martinis
terdapat tanah milik Pemkab Inhu.
Perbuatan kedua terdakwa itu
telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yaitu Martinis. Karena Martinis memperoleh
dan menguasai bidang tanah milik Pemkab Inhu yang telah dibeli tahun 2003
dari Abdul Rivaie Rachman dan
tercatat sebagai aset tetap (KIB-A).
Kasus ini terbongkar saat Pemkab Inhu ingin
membaliknamakan sertifikat dari pemilik tanah pertama untuk pembangunan Pasar
di Kecamatan Sibrida Dari situ diketahui bahwa di atas lahan Pemkab
Inhu itu terbit surat SHM atas nama Martinis.
Akibat perbuatan kedua terdakwa itu, telah
menimbulkan kerugian negara sebesar Rp. 1.701.450.000,- Hal
ini berdasarkan audit Inspektorat Daerah Kabupaten
Indragiri Hulu.
Oleh JPU, kedua terdakwa dijerat dengan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto. pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambahkan dengan Undang – Undang 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang – Undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP idana. nor
.jpg)
No Comment to " Bantah Pernyataan Hakim, Ahli Pidana Ungkap BPN Inhu Lamban Selesaikan Tumpang-tindih Tanah "