• Telisik Toponimi Pro-Kontra Penamaan Ibu Kota Baru

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 03 Februari 2022
    A- A+



    KORANRIAU.co-Pengumuman nama ibu kota negara baru yang disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa dalam rapat Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara, Senin (17/1/2022) menuai pro-kontra. Nusantara, nama yang konon dipilih dari 80 calon nama ibu kota negara baru.

    Pro-kontra mulai mencuat, dari mulai penggalian atas arti makna nama, sejarah, hingga nama sebagai memori kolektif lintas negara, bahkan ada yang mengulas perlunya partisipasi publik karena nama ibu kota negara adalah milik seluruh warga NKRI. Kira-kira akan bergulir sampai sejauh mana kah pro-kontra penamaan ibu kota negara baru ini? Akankah terjadi perubahan ataukah tetap bertahan hingga akhir terwujudnya regulasi dan keberadaan fisik ibu kota negara baru?

    Mengikuti perkembangan pro-kontra di dunia maya hingga lahirnya sejumlah tulisan mengulas etimologi (asal usul dan arti nama), bahkan ulasan mendalam kaitan penamaan dengan politik, pemerintah perlu menyadari bahwa penamaan ibu kota baru sekalipun itu diputuskan oleh Presiden, riset toponimi dan pelibatan publik menjadi kunci yang mestinya tidak dilupakan. Berikut saya memetakan beberapa hal yang semestinya diperhatikan sedari awal terkait penamaan ibu kota negara.

    Pertama, kita sadari bersama bahwa nama ibu kota negara baru merupakan identitas dan jatidiri bangsa. Oleh karena itu, semestinya kajian mendalam dan proses penamaannya memerlukan riset toponimi. Toponimi merupakan ilmu yang mempelajari asal usul nama geografis. Riset toponimi mencakup reviu dan evaluasi terhadap eksisting nama yang ada, termasuk etimologinya dan penggunaannya.

    Seandainya riset toponimi tersebut dilakukan oleh Tim Kajian Pemindahan IKN secara mendalam, maka pemerintah mestinya dapat menjawab sejumlah pertanyaan publik. Saya jadi ingat saat diskusi dengan seorang pakar toponimi Indonesia, Profesor Multamia. Dia bercerita pernah diundang dalam diskusi yang diadakan oleh Tim Kajian Pemindahan IKN. Jika mencermati adanya pelibatan pakar toponimi, saya melihat setidaknya sudah ada upaya riset toponimi sederhana.

    Kedua, derajat tinggi dari nama ibu kota negara inilah yang perlu mendapatkan perhatian khusus agar nama yang dipilih tidak merusak memori kolektif dan persepsi publik terhadap nama yang dipilih. Berbeda dengan penamaan suatu toko kelontong, misal Toko Nusantara yang tentunya tidak akan mendapat pertentangan dari negara tetangga. Oleh karena itu, proses penamaan ibu kota negara baru semestinya melibatkan partisipasi publik sedari dini.

    Masih ingatkah kita dengan ramainya sayembara nama ibu kota yang muncul di dunia maya dan mencuat sejumlah nama. Kemudian, pertengahan tahun lalu, sebagai seorang pemerhati toponimi (penamaan unsur geografis, termasuk nama ibukota) saya sempat melempar pertanyaan akankah ada kegiatan usulan dan sayembara nama Ibukota baru sebagai upaya pelibatan publik?

    Model sayembara usulan penamaan ini bukanlah hal baru; sejumlah negara lain juga melakukan hal serupa dalam menggali masukan terkait penamaan suatu wilayah atau tempat. Kemudian, beberapa waktu lalu di beberapa daerah juga melakukan kegiatan sayembara, salah satunya adalah sayembara nama Stadion Cilegon. Hal ini dapat menjadi contoh praktik baik, mengingat stadion adalah salah satu ikon dan akan menjadi kebanggaan suatu daerah.

    Oleh karena itu, masyarakat pun diberi kesempatan memberikan usulan. Meskipun, keputusannya tentu berada pada penyelenggara nama rupabumi mempunyai kewenangan pemberian nama, dalam kasus ini adalah pemerintah daerah setempat. Nah, untuk penamaan ibu kota negara keputusan diambil oleh Presiden dengan tentunya memberikan kesempatan pada publik untuk berpartisipasi memberikan masukan dan telaahnya.

    Ketiga, toponim Nusantara. Nama tersebut tidak hanya milik Indonesia. Dalam konteks lanskap linguistik, Nusantara identik dengan wilayah (negara-negara dalam naungan) kepulauan yang memiliki kelekatan bahasa dan budaya melayu yang mencakup Indonesia, Malaysia, Singapura, dan beberapa bagian dari Thailand, Brunei Darussalam, Timor Timur, bahkan mungkin hingga ke Taiwan.

    Dari sudut pandang ini, saya melibat urgensinya pelibatan dan kajian terkait lanskap linguistik, budaya, geografi, dan sejarah di balik pemilihan nama ibukota negara baru. Diskusi dan kajian mendalam sedari awal sangatlah diperlukan, bukan sekadar pelibatan dan diskusi sepintas, di era digital seperti sekarang mestinya sosialisasi dan diskusi daring lintas pakar dapat diadakan secara intensif. Hal ini juga dapat menjadi bagian dari upaya keterbukaan informasi dan tentunya pelibatan publik dalam proses penamaan.

    Keempat, terdapat regulasi dan prinsip penamaan yang mestinya menjadi pertimbangan pula dalam proses usulan pemberian nama ibu kota negara baru. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi mengatur cukup jelas tata cara pemberian nama hingga pembakuan nama rupabumi. Nah, nama ibu kota negara merupakan salah satu nama perlu dibakukan untuk menjadi bagian dari Gazeter Republik Indonesia. Oleh karena itu, penamaannya perlu memperhatikan prinsip nama rupabumi dan prosedur penyelenggaraan yang mengusung konsep gotong royong multipihak.

    Terdapat 10 prinsip nama rupabumi; jika menilik dari nama Nusantara, maka secara prinsip nama rupabumi tidak ada prinsip yang dilanggar. Kemudian, jika mencermati proses penyelenggaraan nama yang dapat melibatkan partisipasi masyarakat, maka sekali lagi poin pelibatan inilah yang dirasa kurang diimplementasikan dengan baik. Pendekatan multipihak atau konsep gotong royong toponimi yang diusung dalam regulasi tersebut belum dijalankan dengan baik.

    Konsep gotong royong toponimi ini berarti dalam setiap proses penamaan yang berkaitan dengan kepentingan publik, maka perlu pelaksanaannya perlu melibatkan unsur pemerintah, akademisi, badan atau pelaku usaha, masyarakat atau komunitas, dan media.

    Terakhir, saya teringat dengan ulasan seorang kolega dan pakar toponimi dari Australia yang menyampaikan pendapatnya bahwa toponim atau nama geografis atau nama rupabumi ini erat kaitannya dengan kelekatan emosi kita terhadap lokasi atau tempat atau objek yang diberi nama. Kelekatan terhadap tempat ini merupakan ikatan afektif yang dibangun secara kolektif.

    Ternyata nama tempat pun mempunyai hal yang serupa; nama dapat menjadikan masyarakat setempat atau dalam konteks nama ibu kota negara berarti warga negara tersebut merasa nyaman dan aman serta lebih suka tinggal di lokasi tersebut. Nusantara, memang memiliki kekuatan dan kelekatan historis, emosional, dan budaya bagi kita semua. Namun, ternyata memori kolektif tersebut juga dimiliki oleh sejumlah negara tetangga kita yang rumpun dan sejarah perjalanannya cukup erat dengan kita.

    Sebagai penutup, izinkan saya mengutip dari tulisan salah seorang pakar toponimi PBB bahwa toponim atau nama geografis atau nama rupabumi merupakan cerminan sejarah dan budaya kita; cerminan dari apa, siapa, kapan, di mana, dan mengapa pada saat nama diberikan pada fitur geografis/rupabumi. Oleh karena itu, marilah kita bersama cermati dan pertimbangkan kembali pemilihan nama Nusantara.

    Apabila secara regulasi telah diputuskan untuk menggunakan nama Nusantara sebagai nama ibu kota negara baru, maka marilah kita rangkul negara tetangga dalam semangat kebersamaan Nusantara dan memaknai nama tersebut sebagai pintu pemersatu negara-negara Asia Tenggara dan sekitarnya.

    Oleh: Aji Putra Perdana pemerhati toponim



    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Telisik Toponimi Pro-Kontra Penamaan Ibu Kota Baru "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg