• 'Ndoroisme'

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Rabu, 06 Oktober 2021
    A- A+

     


    KORANRIAU.co-Tempias 'ndoroisme' merambat sampai perguruan tinggi negeri terutama. Adanya ketentuan 35 persen hak menteri pendidikan menentukan terpilihnya seorang rektor, bagi saya, semakin mempersubur budaya 'ndoroisme' ini.


    Di Kementerian Agama, jauh lebih parah. Seorang rektor di perguruan tinggi di bawah kementerian ini, 100 persen ditentukan menteri agama. Ajaibnya, nyaris tidak ada perlawanan berarti dari para dosen terhadap ketentuan ini.


    Mungkin sejumlah minoritas dosen tidak setuju, tetapi hanya dipendam dalam hati. Jika kecenderungan ini dibiarkan berlarut, warisan mentalitas Amangkurat I, Amangkurat II, dan Pakubuwono II berarti dipelihara di perguruan tinggi, tempat orang-orang pintar bekerja dan mencari penghidupan.


    Adanya ketentuan 35 persen hak menteri pendidikan menentukan terpilihnya seorang rektor, bagi saya, semakin mempersubur budaya 'ndoroisme' ini.

      

    Orang-orang pintar yang tak merasa martabatnya dilecehkan, bukankah ini sisi buram perguruan tinggi atau bahkan ada yang melontarkan ungkapan: “Robohnya Universitas Kami,” mengingatkan kita pada novel AA Navis tahun 1950-an: Robohnya Surau Kami.


    Perguruan tinggi yang kebebasannya dikebiri, pasti tak akan pernah maju. Warisan Orde Baru yang otoriter sangat dirasakan perguruan tinggi pada era itu, harus dihentikan.  


    Selanjutnya saya tekankan lagi, kelakuan pimpinan parpol pusat yang tidak memberikan kepercayaan kepada pimpinan parpol daerah dalam proses pemilihan kepala daerah adalah bagian warisan 'ndoroisme' yang berlawanan dengan prinsip ‘daulat rakyat’ yang dimotori Bung Hatta dan diteriakkan terus oleh WS Rendra.


    Akibat tradisi buruk yang tidak mendidik ini, maka intrik, kasak-kusuk, dan kongkalingkong antara elite pusat dan daerah semakin subur. Semua ini bagi sistem demokrasi merupakan batu sandungan untuk tumbuh dan berkembang.


    Salah satu hasil gerakan reformasi adalah semakin longgarnya cengkeraman tangan pusat atas pemerintah daerah, dengan tujuan daerah lebih kreatif dan bersemangat dalam proses pembangunan.


    Perguruan tinggi yang kebebasannya dikebiri, pasti tak akan pernah maju. Warisan Orde Baru yang otoriter sangat dirasakan perguruan tinggi pada era itu, harus dihentikan.

      

    Dengan berlakunya desentralisasi, sebagai bagian dari otonomi daerah, semestinya pihak parpol juga mengikuti sistem ini. Parpol daerah mesti diberi kemerdekaan mengurus perpolitikan mereka, tidak lagi dihantui campur tangan yang tidak patut dari pusat.  


    Jika demokrasi Indonesia mau maju, segar, dan berdaya saing tinggi, sisa feodalisme atau neo-feodalisme harus dimasukkan ke museum sejarah karena sudah lapuk dan mengingkari semangat zaman, berkat rahmat pendidikan yang semakin merata.


    Rakyat terdidik semakin sadar tentang hak dan nilai persamaan dalam kehidupan kolektif mereka yang juga ingin diperlakukan sebagai manusia penuh. Alangkah malangnya hidup di muka bumi, jika kita masih saja rela diperlakukan sebagai setengah manusia.


    Bagaimana dengan aturan yang berlaku pada aparat negara: tentara dan polisi dengan sistem komandonya: siap? Apakah itu termasuk kultur 'ndoroisme'? Puan dan tuan jangan salah paham.


    Sistem komando dan disiplin tinggi untuk aparat negara sudah menjadi ketentuan dan tradisi militer dan polisi di seluruh dunia. Jadi tidak bisa dikategorikan bagian dari 'ndroisme', yang umumnya hanya berlaku buat masyarakat sipil.


    Aparat negara punya kulturnya sendiri yang tidak bisa dibandingkan masyarakat sipil yang lebih longgar, sekalipun bukan tanpa disiplin.


     

    Tentara dan polisi jika memasuki masa pensiun tak lagi berstatus alat negara, tetapi sepenuhnya warga sipil. Yang patut dikritik, perilaku sebagian kecil aparat yang sudah pensiun, lalu menduduki jabatan sipil, misalnya, masih saja main komando dan suka membentak.


    Memang, secara psikologis tidak selalu mudah berpindah dari sistem komando ke dunia sipil, yang mengutamakan musyawarah dalam hampir segala urusan penting.  


    Tindakan desersi (pengingkaran tugas atau jabatan) di lingkungan aparat negara sangat tercela dan diberi sanksi hukuman. Bilamana aparat negara tidak punya disiplin ketat dan tidak taat atasan, sistem keamanan dan pertahanan negara rapuh dan rusak.


    Maka itu, aturan serbaketat yang berlaku di lingkungan aparat negara, jangan dikaitkan dengan fenomena feodalisme atau neo-feodalisme. Lembaga ini punya dunianya sendiri yang harus berbeda dengan dunia masyarakat sipil.


    Tulisan ini membela demokrasi dengan ‘daulat rakyat’ sebagai sistem politik, yang harus dipertahankan dan dibenahi terus-menerus. Demokrasi akan menjadi kurus kering jika ada kecenderungan penguasa atas nama demokrasi mempraktikkan ‘daulat tuanku'. 


    Namun, demokrasi bukanlah sistem tanpa cacat dan kelemahannya sendiri, sebab sepanjang sejarah tidak pernah ada sistem politik sempurna.


    Demokrasi bisa mengundang anarkisme jika pendukungnya mengabaikan tanggung jawab kolektif, yang dijalankan penuh kesabaran dan lapang dada. Demokrasi memang lamban dalam mengambil keputusan, tetapi hasilnya umumnya lebih baik dan tahan lama.


    Tanpa tanggung jawab dan kesediaan berlapang dada, kehidupan demokrasi terancam. Juga demokrasi punya musuh dalam selimut, yaitu mereka yang berlagak demokrat dalam teori, tetapi berperilaku otoriter dalam praktik.


    Otoritarianisme dan 'ndoroisme' tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling menguatkan. Di bawah bayang-bayang kedua 'isme' itu, kemerdekaan manusia tidak saja dipertaruhkan, tetapi juga dirampas dan dihancurkan.republika/nor


    Oleh: Syafii Maarief

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " 'Ndoroisme' "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg