KORANRIAU.co-Sejak disahkan DPR pada 5 Oktober lalu, gelombang unjuk rasa dari berbagai kalangan belum menunjukkan tanda berhenti. Demo buruh pada 8 Oktober di Jakarta dan beberapa daerah diwarnai kerusuhan dan perusakan.
Selang lima hari (13/10), giliran massa PA 212, FPI, dan elemen lain unjuk gigi. Tuntutan mereka lebih tinggi; menuntut pembatalan UU Cipta Kerja dan mengancam menurunkan Presiden. Aksi berlangsung damai dan tertib.
Namun, entah karena apa, aparatur keamanan tetap saja represif dan melakukan penangkapan. Kapan gelombang demonstrasi akan berhenti? Allahu a'lam.
Sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945, Pasal 9 deklarasi hak asasi manusia, dan UU 9/1998, demonstrasi sebagai bentuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak asasi manusia, hak warga negara, serta kegiatan legal dan konstitusional.
Demonstrasi dilakukan sebagai tekanan politik terhadap pengambil kebijakan atas kebijakan tertentu karena komunikasi politik melalui lembaga kenegaraan tak berjalan baik. Dalam alam demokrasi, demonstrasi merupakan aksi yang biasa, bahkan sangat lazim.
Meski demikian, demonstrasi tak selalu membawa hasil, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak aksi demonstrasi diwarnai kekerasan, perusakan fasilitas umum, dan berbagai pelanggaran yang berbuntut penangkapan, penahanan, dan proses hukum di pengadilan.
Demonstrasi terkadang sebatas ajang unjuk kekuatan, yang miskin makna serta menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman. Di tengah pandemi Covid-19, pengumpulan massa dalam jumlah besar dapat menimbulkan klaster virus korona.
Kemungkinan besar, pemerintah tidak akan menerbitkan perppu karena situasi dipandang tidak genting dan memaksa.
Dalam konteks UU Cipta Kerja, jika demonstrasi dimaksudkan untuk mengubah UU tersebut kemungkinan sangat kecil akan berhasil. Secara hukum, setelah disahkan DPR suatu UU akan berlaku. Suatu UU dapat diubah, hanya melalui tiga alternatif. Pertama, melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Sesuai UUD 1945, dalam keadaan genting dan memaksa, pemerintah dapat menerbitkan perppu.
Kemungkinan besar, pemerintah tidak akan menerbitkan perppu karena situasi dipandang tidak genting dan memaksa, UU Cipta Kerja merupakan inisiatif pemerintah, dan kompleksitas UU Cipta Kerja yang terkait dengan lebih dari 70 UU.
Kedua, UU dapat diubah dengan UU baru sesuai mekanisme yang diatur dalam UU 12/2011. Jika opsi ini yang diambil, DPR dapat membahas paling cepat tahun 2021.
Alternatif ketiga, melalui judicial review (JR) apabila proses penyusunan dan materi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat kerugian konstitusional sebagai akibat dilaksanakannya suatu UU.
Pilihan ini dapat dilakukan dalam bentuk uji formal dan uji materi. Segera setelah UU Cipta Kerja diundangkan, individu warga negara atau secara bersama-sama dapat mengajukan JR ke Mahkamah Konstitusi.
Nalar JR
Dari ketiga alternatif tersebut, JR adalah pilihan yang paling mungkin. Pertama, demonstrasi adalah opsi yang costly: terlalu mahal secara finansial dan sosial. Secara politik, demonstrasi memecah belah masyarakat. Lebih banyak mudharat daripada manfaat.
Islam melarang perbuatan yang penuh risiko, mengandung mudharat, dan merugikan kepentingan umum. Karena sudah jelas mudharat dan mafsadat yang ditimbulkan, sesuai prinsip saddu al–dhariah demonstrasi sebaiknya tidak dilakukan.
Kedua, sebagaimana dijelaskan terdahulu, perppu adalah pilihan yang sulit terpenuhi. Ketiga, JR menjadi pilihan paling mungkin dan solusi jalan tengah yang elegan. Sebagai produk politik yang disusun tergesa-gesa dan cenderung mengesampingkan aspirasi masyarakat, UU Cipta Kerja tentu mengandung kelemahan.
Namun, di antara ketiganya, JR adalah pilihan yang sesuai konstitusi dan tampaknya (lebih) syar’i.
Walaupun demikian, tidak sedikit materi UU yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini dapat diterapkan kaidah fikih: mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (sesuatu yang tidak dapat diterima seluruhnya, jangan ditolak secara keseluruhan).
Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang bermasalah dan menimbulkan masalah sudah seharusnya, dihapus atau diganti. Namun, materi yang baik, bermanfaat, dan membawa perbaikan dapat terus dipertahankan.
Keempat, JR adalah pilihan yang aman, menunjukkan tingkat kesadaran dan kematangan hukum, serta keluhuran adab bangsa dan berbangsa.
Di tengah pandemi Covid-19 dan kesulitan ekonomi, diperlukan suasana tenang, kondusif, dan dinamis. Ketiga pilihan perubahan: demonstrasi, perppu, dan judicial review, sesuai hukum dan perundang-undangan.
Namun, di antara ketiganya, JR adalah pilihan yang sesuai konstitusi dan tampaknya (lebih) syar’i.republika/nor
ABDUL MU'TI, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
No Comment to " Fikih Judicial Review "