• Membongkar Stigma Intoleransi di Aceh dan Bali

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Senin, 21 September 2020
    A- A+


    KORANRIAU.co- Pekan lalu, meski masih dalam keprihatinan akibat pandemi, tapi meriahnya suasana Galungan yang merupakan hari raya terbesar dan terpenting bagi umat Hindu Bali tetap terasa. Suasana ini mengingatkan saya pada Upacara Maha Puja Pangguni Uthiram Thiruvila, salah satu hari besar yang dirayakan dengan meriah oleh umat Hindu di Aceh, provinsi tempat saya lahir dan tumbuh dewasa, yang sekarang dikenal identik dengan syariat Islam.


    Beberapa tahun yang lalu, foto-foto perayaan umat Hindu Aceh ini tersebar di media sosial. Pada upacara yang melibatkan seluruh warga Hindu untuk menghaturkan puji syukur ke hadapan Dewa Muruga, terlihat para penganut Hindu menusuk bibir, pipi, dan mengusung patung dewa-dewi. Tersebarnya foto-foto ini membuat kaget banyak orang, "Apa benar ini di Aceh?"


    Kekagetan banyak orang itu sangat pantas dimaklumi. Sebab status sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam, Aceh jarang sekali dipandang dan dinilai oleh orang luar secara "normal", alias biasa-biasa saja. Berdasarkan pengalaman saya pribadi dan juga teman-teman saya yang sama-sama berasal dari Aceh, pandangan orang luar terhadap Aceh bisa dikatakan terbagi dua dan keduanya ada di kutub ekstrem.



    Bagi kelompok yang mengidealisasikan hukum syariat Islam, Aceh mereka bayangkan sebagai daerah tempat orang-orang hidup layaknya di negeri utopia; semua serba indah dan ideal. Sementara, bagi kelompok liberal, situasinya berkebalikan; mereka membayangkan Aceh sebagai wilayah yang masyarakatnya sangat represif terhadap penganut agama lain.


    Tidak sulit menduga dari mana asalnya cara pandang seperti itu. Asalnya tentu saja dari media-media mainstream, baik yang cetak apalagi online yang berlomba-lomba mengejar click bait. Media-media ini kalau membuat berita tentang Aceh dominan memberitakan razia jilbab, razia perempuan bercelana ketat, hukuman cambuk, pelarangan perayaan Valentine, sampai pelarangan perayaan Tahun Baru.


    Akibat dari berita-berita seperti itu, yang tidak utuh menyampaikan fakta sesungguhnya, sampai-sampai banyak yang menyangka bahwa razia jilbab dan berbagai razia yang terkait hukum syariat lain juga dipaksakan berlaku terhadap penganut agama selain Islam. Dominannya informasi seperti ini yang keluar dari Aceh, membuat banyak orang membayangkan Aceh sebagai provinsi yang serba kolot, yang tak memberi ruang sedikit pun bagi kelompok lain di luar Islam.


    Mereka membayangkan, di Aceh orang-orang selain yang beragama Islam hidup penuh tekanan. Dengan modal referensi dari informasi semacam ini, yang disajikan media, tidak sedikit orang luar Aceh yang merasa lebih tahu tentang situasi daerah ini daripada warga Aceh sendiri. Tapi benarkah Aceh demikian?


    Sebenarnya tidak juga. Aceh dengan segala kekhasannya tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Tapi kalau mau dibandingkan, dalam kaitannya dengan melekatnya nilai-nilai agama dengan kehidupan sehari-hari, daerah yang paling pas dibandingkan dengan Aceh adalah Bali, pulau tempat saya berdomisili sekarang.


    Meski tidak secara eksplisit disebut sebagai daerah istimewa atau otonomi khusus terkait agama, tapi dalam praktiknya Bali juga seperti Aceh. Bali banyak menerapkan "syariat" agama Hindu dalam beragam peraturan daerah maupun aktivitas masyarakat. Di Bali, sebagaimana di Aceh yang kehidupan sehari-hari melekat dengan Islam, keseharian warga melekat dengan ajaran agama Hindu. Identitas orang Bali dan orang Aceh menyatu dengan agama yang mereka anut.


    Contohnya, kalau di Aceh ada keharusan untuk memakai jilbab bagi perempuan muslim, di Bali ada peraturan untuk mengenakan pakaian adat pada hari Kamis, hari purnama, dan bulan mati. Juga seperti di Aceh, desa adat di Bali berperan sangat besar, bahkan dalam kasus-kasus tertentu terkait sanksi adat perannya lebih besar daripada lembaga negara.


    Kemelekatan masyarakat di dua daerah tersebut dengan agama sering membuat orang yang tidak benar-benar mengenal Bali atau Aceh, terjebak dalam kesalahpahaman. Seperti Aceh yang akrab dengan berbagai stigma intoleran terkait penerapan hukum syariat Islam, Bali pun pernah mendapat tudingan negatif terkait kemelekatan masyarakat Bali dengan agama yang mereka anut.


    Contohnya beberapa waktu yang lalu, orang-orang di luar Bali heboh akibat dari munculnya berita larangan memakai jilbab bagi karyawati di sebuah mall di Denpasar. Berita ini membuat Bali menerima berbagai tudingan. Komentar-komentar netizen terkait berita ini membuat kita yang membacanya membayangkan seolah-olah umat selain Hindu hidup dalam tekanan hebat di pulau Indonesia yang paling terkenal di luar negeri itu.


    Padahal, fakta sebenarnya adalah penolakan masyarakat terhadap kebijakan sebuah pusat perbelanjaan yang mewajibkan karyawannya berpakaian muslim dalam menyambut Lebaran. Alasannya karena mayoritas karyawan tidak beragama Islam. Tapi di luar Bali, berita ini berkembang bebas dan liar menjadi berbagai versi. Ada yang mengatakan di Bali ada larangan berjilbab terhadap semua orang, sampai ada yang mengatakan ibadah agama lain dipersulit.


    Itu kurang lebih sama seperti berita tentang seorang penganut Kristen di Aceh yang dicambuk karena menjual minuman keras. Komentar orang-orang atas berita itu benar-benar panas. Rata-rata mengatakan bahwa Aceh sudah melewati batas, memaksakan penerapan hukum Islam bagi orang yang tidak meyakini agama itu. Faktanya, mengapa hukuman itu sampai terjadi, adalah atas permintaan yang bersangkutan; sang terdakwa lebih memilih dihukum dengan hukum syariat Islam, dicambuk di depan umum, daripada dihukum dengan pasal KUHP yang akan membuatnya mendekam di penjara selama 4 bulan.


    Di Aceh, seorang terdakwa dalam kasus seperti itu memang diberikan pilihan, mau dihukum berdasarkan KUHP atau syariat Islam.


    Sangat Toleran


    Dalam kenyataannya, masyarakat Bali sebagaimana masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat toleran terhadap penganut agama lain. Saya sendiri yang beragama Islam, yang sudah 17 tahun tinggal di Bali adalah saksi dari bagaimana tolerannya umat Hindu Bali. Selama saya tinggal di Bali, saya sama sekali tidak pernah merasakan tekanan itu. Bahkan yang saya saksikan sendiri, tiap kali Salat Jumat, Tarawih, sampai Salat Id, yang menjaga keamanan kami beribadah, menjaga kendaraan kami dari tangan-tangan jahil, adalah pecalang-pecalang desa adat yang beragama hindu.


    Sebagaimana terjadi di Aceh di mana justru orang Acehlah yang merasakan dampak dari berbagai aturan ketat hukum syariat Islam, begitu pula yang terjadi di Bali, yang paling merasakan dampak dan tekanan terhadap berbagai aturan dalam hal agama dan budaya yang diterapkan di provinsi itu adalah masyarakat Bali sendiri. Sebagai gambaran, bahkan ketika Aceh dilanda konflik hebat dulu pun, yang menjadi korban justru bisa dikatakan hanya umat Islam. Penganut agama lain nyaris tak ada yang disentuh.


    Memang sebagaimana di Bali, di mana umat beragama lain harus menoleransi berbagai aktivitas budaya dan keagamaan seperti upacara Odalan yang membuat ruas jalan di berbagai tempat ditutup atau menghormati larangan keluar rumah dan menyalakan lampu di hari Nyepi, Aceh juga begitu, dalam beberapa hal harus bertoleransi terhadap berbagai acara keagamaan dan aturan. Sebut saja misalnya setiap hari Jumat semua toko, kantor, sampai restoran tutup pada waktu dzuhur.


    Pada bulan Ramadhan, semua warung makan tutup pada siang hari. Tapi secara umum, perlakuan terhadap umat penganut agama selain Islam di Aceh tidaklah seburuk yang banyak dibayangkan orang. Kita ambil contoh Banda Aceh, ibu kota provinsi. Sepanjang sejarahnya, sejak Indonesia merdeka sama sekali belum pernah terjadi konflik antaragama di kota itu. Umat Hindu, Buddha, Kristen Protestan, dan Katolik hidup damai di Serambi Mekkah tersebut.


    Fakta tentang bagaimana tolerannya masyarakat Aceh misalnya bisa dibaca dari pengakuan Fr. Shan Efran Sinag pada media Kabar Aceh beberapa waktu yang lalu. Calon pastor di Gereja Khatolik Paroki Hati Kudus Banda Aceh tersebut mengatakan bahwa pihak gereja tidak merasakan adanya halangan dalam melaksanakan ibadah mereka. Diskriminasi dari kelompok tertentu juga belum pernah ia rasakan.


    "Kami menjalankan kegiatan kegerejaan di Aceh aman-aman saja," katanya. Hal senada juga diungkapkan oleh salah satu jemaat gereja, N. Simamota. Katanya, syariat Islam di Aceh tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk tetap beribadah. Pendeta Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Banda Aceh yang berlokasi di kawasan Peunayong, Domidoyo Ratupenu juga menjelaskan bahwa tidak ada gangguan selama ini terhadap mereka ketika merayakan Natal.


    Jadi begitulah, meski masyarakat Aceh dan Bali dalam kesehariannya hidup berporos pada keyakinan agama yang mereka anut, tapi dua kelompok masyarakat ini sebenarnya juga sangat toleran pada penganut agama lain.


    Win Wan Nur mantan warga Banda Aceh, sekarang berdomisili di Bali


    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Membongkar Stigma Intoleransi di Aceh dan Bali "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg