• Media Sosial dan Aduan Hukum

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 20 Agustus 2020
    A- A+


    KORANRIAU.co- Awal tahun 2020 sampai dengan hari ini media sosial kita ramai oleh kasus-kasus asusila yang di antaranya kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan. Bukan hanya kasus pelecehan seksual yang merugikan suatu pihak, tetapi juga sampai kasus asusila yang menimbulkan keresahan masyarakat seperti misalnya begal payudara hingga masturbasi di depan umum. Kasus-kasus tersebut viral di media sosial hingga pada akhirnya membawa para pelaku untuk diproses secara hukum oleh kepolisian.


    Kasus-kasus yang ramai di media sosial diawali pada Januari ketika terjadi begal payudara di Bekasi yang kemudian pelaku ditangkap dan diproses oleh kepolisian karena kejadian tersebut terekam oleh CCTV dan rekaman tersebut sempat ramai di media sosial. Kemudian untuk kasus lainnya yang rekaman CCTV-nya juga viral di media sosial yaitu kasus masturbasi di depan umum yang terjadi di beberapa lokasi yaitu Bekasi Barat, Cikarang Timur, dan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta yang semua pelaku ini dapat dijerat pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman kurungan maksimal 10 tahun penjara.


    Kemudian yang baru-baru ini ramai juga di media sosial adalah kasus perkosaan yang menimpa seorang perempuan di Tangerang Selatan. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, kasus ini sebenarnya adalah kasus yang sudah terjadi sejak Agustus 2019. Berdasarkan pengakuan korban, sudah dilaporkan ke kepolisian tetapi baru diproses lebih lanjut setelah kasus tersebut ramai di media sosial.



    Fenomena kasus asusila yang viral di media sosial cukup sering terjadi dan selalu menyita perhatian masyarakat. Viralnya suatu kasus di media sosial ini menjadi salah satu cara bagi korban agar kasusnya segera diproses oleh kepolisian. Mau tidak mau kepolisian harus segera memproses kasus tersebut karena sudah telanjur ramai di media sosial dan jika tidak diproses maka akan dipertanyakan kinerja mereka.


    Fenomena ini terjadi tentunya berangkat dengan suatu sebab; tidak sedikit korban dari kasus-kasus asusila semacam ini merasa proses laporan yang ada di kepolisian berjalan lambat dan merasa kasus semacam ini dianggap sepele. Faktanya untuk kasus asusila di Tangerang Selatan butuh waktu satu tahun untuk diproses oleh polisi, dan dalam beberapa hari saja setelah ramai di media sosial tersangka berhasil ditangkap.


    Tetapi masih terjadi perdebatan; polisi menyatakan bahwa setelah melakukan pengecekan tidak mendapati ada laporan terkait kasus tersebut, sedangkan di sisi lain korban mengaku sudah melapor dan belum diproses sampai kasusnya viral. Walaupun begitu, ini bisa menjadi bukti bahwa suatu laporan kasus hukum di kepolisian tidak selalu berjalan cepat dan mulus prosesnya, karena ini terjadi tidak hanya pada kasus tersebut.


    Tak Ada Kepastian


    Pengaduan kasus pidana bisa dilakukan dengan diawali melakukan laporan ke kantor polisi terdekat. Dari dasar laporan itu kemudian polisi akan melakukan penyelidikan apakah laporan itu merupakan suatu tindak pidana berdasarkan bukti yang diajukan oleh pelapor. Kemudian jika dirasa bukti yang ada cukup, maka laporan itu akan diproses ke tahap penyidikan di mana akan ditetapkan tersangka berdasarkan bukti yang ada.


    Dari proses yang ada sampai ke tahap penyidikan memang terlihat cukup mudah, tetapi permasalahan yang sering terjadi adalah waktu proses masing-masing tahap tidaklah cepat. Alasan yang sering menjadi penyebab lamanya proses adalah bukti yang ada tidak cukup kuat.


    Dalam hukum di Indonesia tidak ada aturan mengenai berapa lama proses di kepolisian harus selesai, dan inilah yang kemudian menjadi keresahan bagi masyarakat untuk membuat laporan ke kepolisian. Ditambah sudah menjadi rahasia umum jika ada oknum-oknum kepolisian menawarkan jika laporan ingin diproses secara cepat maka perlu ada uang jasa dengan jumlah tertentu.


    Pada tahap penyelidikan sama sekali tidak dibatasi oleh waktu kapan proses penyelidikan harus selesai. Berbeda dengan tahap penyidikan, berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana disebutkan bahwa waktu penyelesaian penyidikan dihitung berdasarkan bobot perkara. Tingkat kesulitan penyidikan perkara dibagi menjadi perkara mudah, perkara sedang, perkara sulit, dan perkara sangat sulit.


    Tetapi pada peraturan tersebut tidak disebutkan secara pasti berapa lama proses penyidikan itu berlangsung dan tergantung dari penilaian subjektif kepolisian tanpa ada konsekuensi yang berarti bagi kepolisian jika proses sudah melewati batas waktu yang ada. Jadi dengan kata lain memang tidak ada batas waktu yang secara pasti diatur mengenai kapan proses penyelidikan dan penyidikan dilakukan.


    Pelapor pun jika merasa proses yang berjalan lama hanya bisa melakukan upaya dengan menyampaikan keluhannya melalui pengaduan yang bisa disampaikan di bagian pelayanan Pengaduan Masyarakat di kepolisian. Melihat hal ini, maka muncullah fenomena masyarakat atau bahkan korban membuat "aduan" di media sosial yang ternyata memberi impact yang luar biasa hingga pada akhirnya kepolisian bergerak untuk memproses kasus yang ada.


    Saluran yang Efektif


    Media sosial menurut Christian Fuchs dan Daniel Trottier memungkinkan terjadinya penggabungan tiga aspek dalam berkehidupan sosial yang disebut TripleC (Cognition, Communication, Cooperation). Ketiga aspek ini ah yang pada akhirnya membuat sosial media mendukung terjadinya collective action (Collective Action 2.0: The Impact of Social Media on Collective Action, Shaked Spier, 2017).


    Hal inilah yang jika kita lihat fenomena media sosial digunakan sebagai sarana untuk melakukan "aduan" tindak pidana, maka sosial media berhasil menggerakkan para pengguna untuk melakukan suatu tindakan secara collective. Berbagai macam tindakan yang dilakukan seperti misalnya dalam bentuk dukungan moral hingga desakan masyarakat agar kepolisian segera memproses suatu kasus terbukti dari kasus perkosaan yang terjadi di Tangerang Selatan yang segera diproses setelah ramai di media sosial. Walaupun, sebenarnya laporannya --berdasarkan pengakuan korban-- sudah dilakukan sejak tahun lalu.


    Pada akhirnya media sosial menjadi saluran yang efektif bagi masyarakat untuk melakukan "aduan" terhadap kasus pidana yang mereka alami. Walaupun memang tidak mudah bagi korban untuk mengungkapkannya di media sosial, tetapi ini menjadi cara yang terbukti efektif untuk mendorong kepolisian memproses kasus yang terjadi.


    Walaupun begitu tetap bahwa kepolisian seharusnya lebih responsif terhadap kasus pidana yang dilaporkan dan tidak harus menunggu kasus tersebut ramai di media sosial. Selain itu Kapolri tentunya juga perlu membuat aturan yang jelas mengenai batas waktu dalam memproses suatu laporan agar ada kepastian bagi masyarakat dan masyarakat tidak segan untuk melapor kasus-kasus pidana yang mereka alami sekalipun bukanlah sebuah kasus yang besar.


    Jika terdapat aturan yang jelas terkait batas waktu tersebut tentunya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian akan semakin tinggi, dan salah satu fungsi Kepolisian yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu sebagai penegak hukum dapat terlaksana dengan baik.detikcom/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Media Sosial dan Aduan Hukum "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg