• Jangan Hanya Kita yang Baik-Baik Saja

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Minggu, 21 Juni 2020
    A- A+

    KORANRIAU.co-Volume dan frekuensi belanja online saya meningkat pesat selama masa isolasi diri. Tapi, bukan itu benar isunya. Yang bikin saya sendiri kadang-kadang geleng-geleng kepala --dan curiga jangan-jangan saya sudah sedemikian tertekan dengan situasi saat ini sehingga diam-diam sebenarnya stres-- bukan masalah volume dan frekuensi itu, melainkan "level" materi belanjaan saya. Dari yang awalnya minuman-minuman sehat (misalnya madu) berkembang ke level yang semakin lama saya rasakan semakin absurd.

    Ya, belakangan ini saya mulai gemar "berburu" benih dan bibit tanaman. Sebenarnya kalau ini dibilang "absurd" agak berlebihan juga. Mengingat, walaupun hanya sekadar iseng dan sambil lalu, sebelumnya saya memang sudah menyukai tanam-menanam. Dibilang iseng dan sambil lalu karena memang faktanya demikian adanya. Saya tidak pernah meniatkan diri secara serius untuk menanam pohon atau bunga-bungaan tertentu. Kebiasaan tanam-menanam itu hanya lahir dari kecenderungan sifat saya yang "open" --bukan kata dalam bahasa Inggris, melainkan ini kata dari bahasa Jawa, dengan 'e' diucapkan sama seperti pada kata "pendek".

    Ya, open itu artinya tak gampang membuang sesuatu yang sebenarnya sudah tidak berguna. Kalau kamu belanja ke supermarket masih pakai kantong plastik, dan kemudian sampai di rumah merasa "sayang" membuangnya dengan pikiran bahwa kantong plastik itu bisa dipakai untuk melapisi tempat sampah, nah itu artinya kamu open. Dan, saya open pada hampir semua hal, termasuk misalnya sehabis makan buah atau memasak sayuran, biji atau batang atau apapun yang tersisa darinya biasanya tidak saya buang, melainkan saya sebar atau saya tancapkan di tanah dalam pot.

    Pengalaman sejauh ini, apapun yang saya "jatuhkan" ke tanah dalam pot itu biasanya tumbuh, sampai besar, dan saya pun kemudian "terpaksa" memeliharanya. Salah satu yang pernah membuat saya terheran-heran sendiri adalah ketika saya menancapkan sisa batang-batang kangkung yang ujungnya masih terdapat sisa-sisa akar, dan ternyata bisa tumbuh, berbunga, merambat, sampai akhirnya bisa saya petik kembali untuk saya masak tumis. Itu belum cerita tentang cabe. Namun, pernah juga menyesal: saya meng-open-i biji tomat, tumbuh sampai besar, berbunga, tapi kemudian layu dan mati sebelum berbuah.

    Sekali lagi, karena sejak awal memang hanya iseng dan sambil lalu itu tadi, saya tidak punya ketelatenan untuk memupuk tanaman-tanaman tersebut. Tapi, walaupun nyaris tak pernah menyaksikan sang tanaman tumbuh sampai berbuah, tetap saja ada semacam rasa "terhibur" yang sulit dijelaskan, bagaimana menyaksikan biji-biji yang "dibuang begitu saja" itu bisa tumbuh menjadi tunas, batang, berdaun lebat, hijau subur. Tidak hanya --minimal-- menjadi pemandangan yang menyegarkan mata (dan jiwa), tapi lebih dari itu, ini seperti menciptakan sebuah kehidupan. Saya selalu bergumam, alangkah ajaibnya alam ini!

    ***

    Saya sudah tidak tahu lagi, berapa lama saya telah mengurung diri di rumah sejak pandemi ini menggegerkan dunia, membuat kita semua repot, dan menghancurkan sebagian perputaran roda perekonomian masyarakat. Saya sudah lupa sejak kapan saya bekerja dari rumah, sebuah privilese yang tidak dimiliki oleh semua orang dan dengan demikian sangat saya syukuri.

    Saya sudah tidak lagi mengikuti perkembangan dari hari ke hari apa yang terjadi di luar sana, angka-angka pasien positif, pasien sembuh, ODP, OTG, dan sebagainya. Saya menjalani hari-hari dengan datar, lambat, bekerja seperti biasa, karena pada dasarnya --lagi-lagi ini sebuah privilese yang sangat saya syukuri-- pekerjaan saya bisa dilakukan di mana saja, termasuk di rumah, sambil diselingi masak, berkebun, serta bermain dengan kucing, memberinya makan, dan membersihkan tempat pup-nya, dan lain sebagainya.

    Saya kadang-kadang sudah tidak tahu lagi ini hari apa, tanggal berapa, dan sebagainya. Saya mengira Jumat malam adalah malam Minggu dan terkaget-kaget karena "tiba-tiba" sudah weekend lagi. Saya tidak menonton drakor serta tidak punya energi dan mood untuk membaca buku, kecuali komik-komik bergambar yang ringan. Saya tidak mengikuti debat tentang sains yang dilakukan kaum budayawan di Facebook dan diramaikan oleh pengikut dua kubu masing-masing dan dirayakan secara gegap gempita sebagai sebuah peristiwa intelektual yang mencerahkan. Walaupun, mau tak mau sesekali "terpapar" juga oleh sharing dari teman dan terpaksa membaca sekilas-sekilas saja --saya tidak tahan serta merasa tidak punya kapasitas dan relevansi untuk mengikutinya.

    Saya lebih banyak mengisi waktu di sela-sela kerja --yang sebenarnya juga tidak banyak karena sekali lagi pada dasarnya walaupun di rumah saya tetap bekerja seperti biasa-- dengan sekrol-sekrol laman aplikasi belanja online dan sesekali menonton video-video tutorial di Youtube --bagaimana menggoreng kacang agar renyah dan tidak gosong, membuat susu kedelai yang enak dan tidak langu, hingga menanam jahe merah dalam karung agar cepat panen dan pepaya dalam pot agar berbuah lebat. Yang terakhir ini memang sangat berguna karena kebetulan saya punya pohon pepaya di pot yang tumbuh dari biji yang dulu saya "buang".

    Menurut video itu, ternyata saya harus memangkas pucuk pohon pepaya yang sudah setinggi sekira satu meter itu hingga lebih dari separonya agar nanti pohonnya tidak tumbuh tinggi tapi tetap bisa berbuah lebat. Saya mengikuti petunjuk itu. Biarkan tunas-tunas baru muncul, dan pilih salah satu tunas untuk ditumbuhkan dan nanti pangkas lagi pucuknya. Ini ilmu baru yang sangat bermanfaat. Saya senang sekali menemukan dan mempraktikkannya. Mestinya saya dulu kuliah di Fakultas Pertanian!

    Dari video tutorial itu saya juga jadi tahu ada media tanam yang namanya cocopeat, yakni serabut kelapa kering yang dihaluskan. Ada video tutorialnya untuk membuatnya sendiri --tapi dari mana mendapatkan serabut kepalanya? Di dekat rumah saya --lagi-lagi kebetulan (atau ini memang sudah diatur oleh takdir?)-- ada "toko tani" yang menjual rupa-rupa keperluan untuk berkebun, dari bibit, pot, pupuk, hingga media tanam sehingga saya tidak perlu repot-repot.
    Saya biasa membeli satu-dua karung media tanam dari toko itu, dan menggotongnya pulang, menyusuri gang, melewati rumah-rumah tetangga. Beberapa di antara mereka yang sedang duduk-duduk di teras melihat dengan heran dan bertanya. Salah satunya seorang ibu guru yang juga "terpaksa" bekerja di rumah selama masa pandemi ini.

    "Apa itu?"

    "Mau bertani!" sahut saya dengan nada riang, gembira, dan bangga.

    "Oh, ya, ya...baguslah, bagus!"

    ***

    Setelah semua ini, setelah sejauh ini, seandainya, ya, hanya seandainya, di luar sana virus itu ternyata atau sebenarnya tidak ada, udara kosong semata dan langit cerah seperti biasa, saya tidak akan merasa rugi telah mengurung diri berminggu-minggu, bekerja dari rumah, terputus dari dunia luar, tidak berenang, tidak duduk-duduk minum kopi bersama teman-teman sebagaimana biasa kami lakukan.

    Ya, tidak akan ada yang saya sesali. Semua ini mungkin akan terdengar seperti omong kosong saja --menanam pepaya dalam pot (dan mengharapkannya berbuah lebat tanpa tumbuh tinggi), membuat susu kedelai sendiri (enak dan tidak langu), dan memasak setiap hari (biasanya saya hanya memasak pada akhir pekan, itu pun kalau sedang tidak malas). Tapi, lebih dari semua itu, saya merasa telah belajar cukup banyak hal tentang sesuatu yang sebelumnya barangkali tak pernah saya pikirkan.


    Minimal sekarang saya bisa berkata, bahwa ternyata kita, maksudnya saya, bisa kok, menjalani hidup ini dengan cara yang sunyi, sederhana, datar-datar saja, membosankan. Tidak ke mana-mana, tidak ke mall pada akhir pekan, membeli roti Prancis, nge-gym, melihat novel-novel baru di toko buku. Kita ini makhluk yang mudah menyesuaikan diri, bisa menakar dan menimbang, memikirkan kembali apa yang kita butuhkan.

    Tapi, dari situ, pada saat yang sama secara ajaib kita kemudian juga belajar bahwa di sisi lain kita tidak bisa terus begini. Kita mungkin baik-baik saja, minimal sejauh ini, dengan mengurung diri di rumah, bersembunyi, awalnya dari kekhawatiran akan terpapar virus yang tengah mewabah, sampai lama-kelamaan berbisik dalam hati, bersembunyi entah untuk apa. Kita mungkin baik-baik saja, tapi tidak semua orang bisa seperti kita --diam di rumah dan tetap gajian.

    Bagaimanapun, tidak hanya kita yang membutuhkan dunia, tapi dunia juga membutuh (kehadiran) kita. Bukan karena kita begitu pentingnya, tapi semata karena hidup ini memang harus berjalan dengan cara saling melengkapi. Para penjaja makanan di pinggir jalan itu butuh pembeli, dan itu adalah kita. Di luar sana, ekonomi harus kembali berjalan. Orang-orang harus kembali bekerja. Karyawan toko tidak boleh kehilangan pekerjaannya. Anak-anak muda yang baru saja memulai bisnis kafe atau restoran dengan penuh semangat, kreatif, inovatif, dengan usaha sendiri nyaris tanpa bantuan pemerintah, mereka tidak boleh terpuruk.

    Kita tidak boleh terlalu lama ngumpet. Kita harus kembali ke dunia, melakukan apa yang pernah dan biasa kita lakukan. Anggap saja, apa yang terjadi selama ini adalah sebuah pembelajaran. Jadi, mari kita lanjutkan saja kebiasaan yang telah kita lakukan selama mengisolasi diri kemarin: menanam pepaya dalam pot, berkebun, memasak. Kita mulai hidup dengan cara-cara seperti itu, lebih sering masak, lebih sering berkumpul dengan keluarga, sambil perlahan-lahan mulai keluar dari rumah, kembali menjalani kehidupan di luar sana dengan cara-cara yang baru: memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak.

    Kita telah membuktikan bahwa kita bisa tidak ke mana-mana dan ternyata baik-baik saja. Tapi, apa gunanya jika yang baik-baik saja itu hanya kita, sementara dunia di luar diri kita perlahan-lahan hancur, karena kita tidak ada di sana?

    Mumu Aloha wartawan, penulis, editor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Jangan Hanya Kita yang Baik-Baik Saja "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg