• Buya Hamka: Islam, Mataram, dan Agama Kesatuan

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Minggu, 03 Mei 2020
    A- A+

    KORANRIAU.co-Mas Rangsang, yang setelah menjadi Sultan Mataram bergelar "Panembahan Agung Senopati Ing Alogo Abdurrahman ", yang disebut juga Prabu Pandito Cokrokusumo, atau Hanyokrokusumo, yang lebih terkenal dengan sebutan Sultan Agung, (1613 -1645), memanglah seorang di antara Raja-raja di tanah air kita yang terhitung Raja Besar.

    Di samping dia kita mengingat nama-nama lain yang sezaman dengan dia, sebagai Iskandar Muda Mahkota Alam Aceh, Hasanuddin Makassar, Ranamanggala Mangkubumi di Bantam. Di luar negeri terkenal nama-nama Sultan Akbar Abdul Fatah Jalaluddin Muhammad di India (Delhi) dan Sultan Salim Osman di Turki.

    Sultan Agung naik takhta, kebetulan di waktu Kompeni Belanda baru saja ditumbuhkan, dan baru saja merangkakkan jalannya hendak menguasai tanah air kita, karena hendak merebut rempah- rempah.
    Keistimewaannya dalam peperangan, percobaannya hendak merebut Jakarta kembali dan mengusir Belanda, meskipun tidak berhasil karena Belanda telah kuat di waktu itu, bukanlah akan menjadi pokok pembicaraan kita di sini.

    Yang menjadi tekanan perhatian kita sekarang ialah, kebesarannya dalam segi filsafat dan agama, dan citanya hendak menyesuaikan ajaran Islam sebagai agama yang telah diterima dan menjadi kenyataan, dengan jiwa asli bangsa Jawa.

    Islam telah masuk ke Jawa dan telah pernah berpusat di Demak. Padahal sisa perasaan kehinduan belumlah hilang. Di Jawa Timur pada masa itu masih ada juga Kerajaan Hindu yang kuat (Blambangan). Beliau merasa bahwa kedudukannya sebagai seorang Raja besar tidaklah akan teguh, kalau sekiranya dia tidak mendapat sokongan yang kuat, bukan saja daripada pemeluk

    Agama Islam, tetapi juga daripada kaum bangsawan yang rasa kerinduan belum hilang samasekah dari dalam hati mereka. Untuk mensahkan kedudukannya sebagai kepala Agama Islam, dia minta dilantik gelaran Sultan daripada Sunan Giri.

    Sebab Giri masih menjadi pusat dari penyiaran Islam. Tetapi di samping menjadi Sultan, beliau pun adalah kepala adat pusaka turun-temurun, beliau adalah Cokrokusumo dan Prabu Pandito. Agama berjalanlah sebagaimana mestinya, tetapi jangan lebih daripada batas-batas kekuasaan yang telah ditentukan. Pengurus urus-urusan agama dinamai "Jogosworo", terambil dari kata-kata "Yogi", salah satu amalan tafakkur daripada penganut Agama Budha.

    Keturunan beliau disusun demikian rupa, sehingga terpadulah di antara Islam dan Hindu dan ceritera wayang. Di samping silsilah keturunan beliau daripada Nabi Adam dan Nabi Syis, beliau adalah keturunan Batara Guru, bernama Arjuna, Abimanyu, Parikesit. Kadang-kadang disebut hubungan beliau dengan Nabi Muhammad, sebagai keturunan daripada Saidina Ali dan Fathimah, tetapi juga disambungkan dengan Kuda Lalean Raja Pajajaran Hindu, Brawijaya dan Hayam Wuruk, sebagai raja-raja besar Majapahit.

    Untuk menunjukkan bahwasanya negeri beragama Islam, setiap bulan Maulid diadakan Sekaten, kabarnya konon diambil daripada rahmat syahadat (Syahadatain) dan orang berkumpul ke dalam mesjid, mendengarkan guru agama membacakan kisah Maulid Nabi Muhammad, tetapi sebelum itu dengarkan dahulu gamelan Ki Sekati dan Nyi Sekati.

    Salah satu usaha beliau dari segi Filsafat buat mendamaikan di antara pelajaran Syirk Hindu dengan Tauhid Islam, ialah karangannya yang terkenal "Sostragending". Dipertemukanlah pelajaran "Fana" dalam Tasawuf Islam dengan pelajaran "Nirvana" dalam pelajaran Budha dan "Atma" dalam pelajaran Hindu. Dalam satu susunan yang sangat halus, sehingga seakan-akan menjadi satu agama terdiri sendiri.

    Dan usaha ini diteruskan oleh keturunan-keturunannya yang datang di belakang. Sampai kepada Ranggawarsita Pujangga Jawa yang terkenal, mengemukakan pelajaran "Kawan Gusti" campuran ajaran Al-Hallaj dan Al-Ghazali, dibumbui dengan ajaran Hindu.

    Dengan memakai pelajaran seperti ini, apa saja agama yang dipeluk, baik Islam ataupun Hindu, akan dapatlah dipertemukan. Dan orang tak usah memberat-berati dirinya, karena semua pelajaran agama adalah sama, dan telah diambil dari patinya.

    Inilah jasa terbesar dari Sultan Agung, yang akan dijadikan tempat tegak dan dasar daripada keturunan-keturunannya yang datang di belakang. Tetapi setelah beliau wafat, tidaklah akan dapat teguh filsafat yang beliau tanamkan itu, kalau sekiranya kemudian tidak datang perlindungan daripada yang lain, yaitu kekuasaan asing.

    Baru saja beliau meninggal, yakni pada zaman pemerintahan Amangkurat I, bangkitlah Trunojoyo dari Madura, dibantu oleh Karaeng Galesong dari Makassar mengadakan pemberontakan. Pahlawan-pahlawan ini memperjuangkan tegaknya ajaran Islam yang lebih baik. Pada zaman Amangkurat II, berlakulah kekejaman yakni pembunuhan terhadap ribuan Ulama- ulama Islam, yang mencoba menanamkan ajaran Islam yang sebenarnya.

    Pada zaman Amangkurat IV, dengan kehendak Belanda diusirlah beberapa Muballigh Wahabi yang datang ke Jawa hendak mengajarkan Islam yang bersih kepada penduduk. Bahkan Amangkurat sendiri pun tertarik oleh ajaran itu. Dan keturunannya pula, Pangeran Abdul Hamid Diponegoro, terang-terang hendak mendirikan Kerajaan Islam, dan beliau Amiril Mukminin di tanah Jawa. Beliau ganti pakaian Jawa Lama dengan jubah dan serban. Maksud beliau niscaya akan berhasil, kalau sekiranya Kompeni tidak campur tangan.

    Pada zaman sekarang, untuk menyatukan Kebangsaan Indonesia, pemimpin-pemimpin Indonesia merumuskan Pancasila! Bung Karno pencipta Pancasila, mengakui bahwasanya Filsafat Pancasila bukanlah buatannya sendiri, tetapi rasa asli yang terpendam dalam jiwa-raga bangsa Indonesia.

    Pemimpin-pemimpin Islam atau pun Kristen atau pun Hindu menerimanya dengan baik.
    Tetapi pada saat-saat terakhir, mulai pula terdengar usaha beberapa golongan, hendak menonjolkan Pancasila, bukan saja sebagai alat mempersatukan, tetapi sebagai semacam agama pula. Ada yang mengatakan bahwa Bung Karno adalah Nabi Pancasila.

    Sebagaimana telah terjadi dalam riwayat, ini pun tidak akan berhasil. Beberapa tahun saja sebelum Sultan Agung, maka Sultan Akbar di India telah mencoba pula mem"buat" sebuah agama Kesatuan. Mati Akbar, matilah agama itu.

    Umur agama buatan itu hanyalah sepanjang umur orang yang mencoba-coba membuatnya. Dan umur sejarah lebih panjang dari umur manusia.republika/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Buya Hamka: Islam, Mataram, dan Agama Kesatuan "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg