• Sastra Jawa Hindu dan Sastra Melayu Islam

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Rabu, 04 Desember 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-De Sauzzure membagi bahasa menjadi dua berdasarkan aspeknya dalam pemakaiannya, yaitu langue dan parole. Langue adalah bahasa percakapan yang umumnya bersifat lisan dan penuh dengan aspek keseharian. Mungkin bisa disamakan dengan istilah tutur dalam bahasa Jawa. Parole adalah aspek bahasa yang tidak bersifat keseharian. Boleh jadi bisa disamakan istilah ukara dalam bahasa Jawa seperti digunakan dalam Serat Wedatama, atau okara dalam bahasa Madura yang tak lain adalah bahasa sastra yang umumnya tertulis dan menolak sifat keseharian dari tutur/toror. Dalam bahasa Sanskerta parole bisa disamakan dengan vicara, yaitu percakapan yang mengandung pemikiran dan perenungan sebagaimana tampak dalam karya sastra dan filsafat

    Sebagai awujud dari aspek bahasa sebagai parole, sastra bisa menjelaskan masa lalu, sebagaimana menjelaskan masa depan. Masa lalu yang dijelaskan ialah pengalaman, kondisi kemanusiaan, kecenderungan pemikiran dan estetika yang dominan ketika karya itu ditulis oleh pengarangnya. Masa depan yang dijelaskan ialah pesan moral dan kemanusiaan yang relevan pada masa kini dan masa yang akan datang, walaupun jarak waktunya sudah begitu jauh dari masa penciptaan karya tersebut.

    Ungkapan dalam sajak “Catetan 1946” Chairil Anwar, “Kita anjing diburu, hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo dan Yuliet berpeluk di kubur atau di ranjang...” dapat ditangkap pesannya dalam konteks kehidupan sosial dan politik sekarang ini. Dengan demikian ia berada pula dalam waktu yang tidak berbalik ke belakang lagi.

    Dalam karangan ini akan dipaparkan secara ringkas dua khazanah utama sastra Nusantara dan wawasan estetiknya. Dua khazanah itu ialah khazanah Sastra  Jawa Hindu dan Sastra  Melayu. Islam

    Sastra  Jawa Hindu

    Sebagai bangsa serumpun yang jumlahnya tidak kecil dan memainkan peranan menonjol dalam sejarah politik dan intelektual di Asia Tenggara selama masa yang panjang, kita mewarisi hampir semua peradaban besar dunia. Warisan-warisan dari berbagai peradaban dunia itu, khususnya tradisi intelektualnya, kita olah dengan cara kita sendiri, kita perbarui dan kita kembangkan sesuai keperluan kita sendiri sehingga bangsa serumpun ini dapat mengangkat martabatnya di tengah-tengah bangsa lain di dunia. Dari empat peradaban dunia yang mengenal tradisi baca tulis dan intelektual, kita mewarisi tiga daripadanya: Hindu Buddha, Islam dan Eropa. Satunya lagi peradaban Sino-Konfusianis juga hadir di tengah kita, walau tradisi intelektualnya sedikit saja yang mempengaruhi kita.

    Warisan peradaban sastra tulis yang pertama kita peroleh berkat berkembangnya agama Hindu dan  Buddha pada abad ke-7 – 14 M. Warisan peradaban sastra tulis yang kedua kita peroleh sebagai dampak dari kedatangan agama Islam, yang berkembang pesat dan tersebar luas di seluruh kepulauan Nusantara pada abad ke-13 – 18 M. Warisan peradaban sastra tulis yang ketiga kita peroleh pada abad ke-20 M setelah pemerintah kolonial membuka lembaga-lembaga pendidikan yang mereka sebut modern.

    Sangat disayangkan, warisan dari peradaban pertama dan kedua telah luluh lantak dan berkeping-keping sebagai dampak dari kehadiran kolonialisme. Sedangkan warisan ketiga kita peroleh pada abad ke-20 M sebagai dampak dari kolonialisme dan modernisasi yang sering kita salah artikan sebagai westernisasi.

    Yang pertama dapat kita sebut sebagai warisan peradaban Hindu Buddha. Hasil-hasil kesusastraan yang diwariskan oleh peradaban ini mulai muncul pada abad ke-10 M, tetapi mulai menampakkan perkembangannya yang pesat pada abad ke-12 – 15 M, zaman kejayaan dari tiga pusat kekuasaan Hindu di Jawa Timur yaitu Kediri, Singasari dan Majapahit. Karena bahasanya disebut bahasa Jawa Kuna maka sastranya juga disebut kesusastraan Jawa Kuna.

    Sebagian besar karya pengarang-pengarang Jawa Kuna yang awal itu berbentuk kakawin, yaitu karangan naratif dan imaginatif yang disampaikan secara puitik menggunakan bahasa tinggi yang sarat dengan kata-kata dan metafor pinjaman dari bahasa dan sastra Sanskerta. Sumber ilham bagi ceritanya ialah bagian-bagian dari epos atau wiracarita Mahabharata dan Ramayana. Kadang juga Bhagavat Gita dan kisah-kisah India karangan Kalidasa seperti Shakuntala, Medadhuta dan Raghuvamsa.

    Kakawin-kakawin terkenal antara lain ialah Arjuna Wiwaha (Mpu Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha (Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Gatodkacasraya (Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja), Sumanasantaka (Mpu Monaguna), Lubdhaka (Mpu Tanakung),, Arjunawijaya (Mpu Tantular) dan Kunjarakarna. Pada masa berikutnya muncul bentuk penyampaian lain yang disebut kidung, yaitu karangan naratif yang disampaikan juga dalam bentuk puisi. Bedanya puisi dalam kidung didasarkan bukan pada puitika Sanskerta, tetapi ciptaan local genius pada abad ke-14 M (Zoetmulder 1983:277-395). Sumber ilham cerita bukan lagi epos-epos India, melainkan peristiwa-peristiwa sejarah lokal dengan tokoh-tokoh lokal pula. Yang terkenal di antaranya ialah Kidung Ranggalawe, Kidung Sorandaka, Kidung Sunda, dan lain-lain.

    Tidak bisa diabaikan genre yang disebut ‘sastra puja’ seperti Nagarakrtagama karangan Mpu Prapanca dan Pararaton (salasilah raja-raja Singasari dan Majapahit). Dua kitab yang disebut belakangan ini adalah karya bercorak sejarah yang pertama kali muncul dalam sastra Jawa Kuna.  Pada masa akhir kekuasaan Majapahit, setelah munculnya genre kidung yang biasanya mengisahkan para kestaria yang gugur di medan peperangan secara tragis, muncul siklus Cerita Panji, campuran epos, kisah petualangan dan percintaan. Tokoh-tokoh dalam Cerita Panji bukan lagi tokoh dalam mitos atau sejarah lokal, melainkan hasil rekaan atau imaginasi pengarang, namun tetap merujuk pada tokoh dalam sejarah. Yang paling jelas hubungannya dengan tokoh sejarah ialah Cerita Damarwulan. Meskipun sudah digubah menjadi karya imaginatif, namun tampak latar sejarah di belakangnya yaitu situasi krisis yang meliputi kerajaan Majapahit menjelang keruntuhannya.

    Oleh: Prof DR Abdul Hadi WM, Budayawan dan Guru Besar Universitas Paramadina, Jakarta

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Sastra Jawa Hindu dan Sastra Melayu Islam "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg