• UAS dan Catur: Ironi Para Perundung Ulama

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Sabtu, 23 November 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-Kalau saat ini Anda memasukkan dua kata, “UAS” dan “ catur ”, ke dalam mesin-pencari Google, maka berbagai macam informasi akan membanjiri layar gawai Anda. Yang cukup marak ialah informasi bahwa ustaz abdul somad (UAS) telah mengharamkan catur.

    Namun, benarkah mubaligh tersebut telah mengharamkan catur?

    Melalui perbincangan via WhatsApp dengan Republika, Kamis (21/11) lalu, UAS membeberkan pandangannya.

    Pada intinya, UAS sebatas menjelaskan pandangan para ulama klasik, termasuk yang dari mazhab-mazhab fikih ahlus sunnah wa al-jama'ah. Dia tidak sama sekali memberikan penilaian pribadi tentang haramnya catur.

    Lantas, dari mana kehebohan di jagat maya bermula? Republika menemukan adanya satu video di YouTube berjudul "Hukum Main Domino dan Catur - Ustadz Abdul Somad Lc MA." Video yang diunggah pada 26 Juli 2017 (ya, sekitar dua tahun lalu) itu kini telah ditonton sebanyak 1,38 juta kali oleh pengguna internet (netizens).

    Ada hal yang menarik. Dalam video itu, seluruh pernyataan UAS berlangsung dalam format tanya-jawab. Dan, tidak ada satu kalimat pun dari lisan UAS yang mengharamkan catur serta domino. Tidak ada, misalnya, "Saya mengharamkan catur" atau "Menurut saya, catur haram."

    Dilansir video itu, poin ketidaksepakatan UAS hanyalah pada klasifikasi olah raga. Ya, dia tak setuju catur dimasukkan sebagai sebuah cabang olah raga.

    "Ah, itu bahwa ketua persatuan catur marah sama saya, terserah, tetap saya tak setuju," kata mubaligh asal Sumatra Utara itu.

    Artinya, ada konsistensi pada diri UAS. Baik pada 2017 silam (bila kita asumsikan sesi tanya-jawab itu terjadi pada tahun yang sama ketika video tersebut di-upload) maupun saat ini. Lisannya tidak seperti ungkapan "pagi dele, sore tempe."

    Tulisan ini saya buat dengan rasa heran. Cepat sekali para netizens yang (seharusnya) budiman terprovokasi kesimpulan yang terburu-buru.

    Kesimpulan oleh siapa? Yang menyatakan pertama kali bahwa "UAS mengharamkan catur." Siapa? Entahlah, tetapi efek ujarannya cukup dahsyat. Perundung ulama menjadi banyak bermunculan di media sosial.

    Saat mengobrol jarak-jauh dengan Republika, UAS sampai-sampai membagikan sebuah gambar screenshot. Isinya menampilkan judul: "Haramkan Catur, Bukti UAS Tak Pernah Pakai Otak."

    "Tak pernah pakai otak." Cacian yang menyakitkan. Perundungan semacam ini seharusnya ditebus, setidak-tidaknya, dengan meminta maaf kepada yang-tersakiti.

    Namun, toh UAS menanggapinya dengan tenang. "Semoga keluarga mereka yang selalu menyerang saya diberi rezeki halal, anak-anak saleh dan salehah, istiqomah, dan husnulkhotimah," kata peraih anugerah Tokoh Perubahan Republika 2017 itu, Kamis lalu.

    Saya sendiri kurang sepakat dengan UAS bila catur tak digolongkan ke dalam cabang olahraga. Catur adalah olah raga yang memerlukan konsentrasi.

    Baiklah. Namun, barangkali siapapun akan sepakat bahwa bermain catur--dan domino--membutuhkan pikiran, memerlukan otak.

    Saya mengira, dalam hidup ini tak cukup ditempuh dengan otak. Perlu juga perasaan. Sebagai Muslimin, peka-kah perasaan kita bila ada suatu informasi. Misalnya, kabar burung bahwa seorang ulama fulan mengharamkan sesuatu yang begitu amat populer?

    Dalam kasus "UAS dan catur", apa sulitnya menonton utuh video berdurasi 3 menit 19 detik? Untuk apa pula ambil kesimpulan buru-buru?

     Inilah ironi para perundung ulama. Mereka menuduh orang lain tak pakai otak, tetapi diri sendiri tidak objektif menilai.
    Saya akan menutup tulisan ini dengan transkrip utuh dari tayangan video yang viral itu.

    Secara garis besar, uraian UAS meliputi beberapa hal. Mulai dari penjelasannya tentang pandangan alim ulama klasik terkait permainan (games); ketaksetujuannya bahwa catur adalah olah raga; hingga pengalamannya belajar, baik di pesantren (dalam negeri) maupun perguruan tinggi (luar negeri).

    Dan, sekali lagi, tak ada itu UAS an sich mengharamkan catur.


    [UAS membacakan teks pertanyaan] "Maaf Pak Ustaz, boleh enggak main domino, untuk mengisi luang biasanya 17 Agustus?"

    [Tanggapan UAS] "Ini rekaman ini bahaya. [Hadirin tertawa] Mazhab Hanafi mengharamkan dadu dan catur. Mazhab Hanafi mengharamkan dadu dan catur, alasannya dua. Pertama, melalaikan shalat.

    Orang kalau sudah seru main catur, hayya ala shalah, skak mat! [Hadirin tertawa] Yang kedua, menghilangkan waktu. Berhari-hari.

    Saya masih sampai saat ini belum setuju kalau catur dimasukkan ke dalam olah raga. Olah raga lari, oke. Lempar lembing, oke. Renang, oke. Tapi, (ter)menung sampai 3 jam.

    Ah, itu bahwa ketua persatuan catur marah sama saya, terserah, tetap saya tak setuju. (Catur) menghabiskan waktu itu.

    Banyak lagi yang perlu kita pikirkan. Memikirkan bagaimana politik; memikirkan bagaimana anak. Ini yang dipikirkan, macam mana pion-pion ini bisa selamat? [Hadirin tertawa]

    'Ketangkasan, Pak Ustaz.' Banyak ketangkasan yang lain. Outbond itu ketangkasan. Lomba tembak-menembak itu ketangkasan.

    Nah, ini tentang masalah, maka dikiaskan ke mari. Tapi kan tak disebut (oleh Mazhab Hanafi) dari domino?

    Dadu dengan catur sifatnya permainan. Menetapkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada sesuatu yang sudah ada hukumnya dengan melihat titik persamaan antara keduanya (itu kias).

    'Ustaz jujur saja, memang Ustaz tak pernah main domino?' Pernah. Saya punya piagam pemain domino terbaik, ada saya simpan. [Hadirin tertawa]

    Saya di pondok pesantren, sekolah, kami dipaksa untuk serius belajar. Jadi, saya selalu diuntungkan oleh keadaan. Jadi kalau dikatakan, 'Ustaz itu baik tak pernah terjerumus pada dosa'. Tidak baik-baik betul.

    Keadaan. (UAS) Dimasukkan ke pesantren. Habis itu, di Mesir. Di Mesir tak sempat untuk main-main begini karena matakuliah (jumlahnya) 14. Hafalan Quran, dua juz.

    Tak lulus 3 matakuliah, kurang beasiswa 25 persen. Tak lulus empat matakuliah, dua tahun tak naik, putus beasiswa 50 persen.

    Tiga tahun tak naik, DO (drop out). Kalau sudah DO, diusir dari asrama, beasiswa putus, tak dikasih tiket pulang, siap-siap merakit dari Sungai Nil ke Sungai Siak. [Hadirin tertawa]

    Beda dengan anak-anak yang kos-kosan sekarang. Dia santai, santai, saya tengok di kantin (gestur tubuh merokok). [Hadirin tertawa] Ditanya, semester berapa? 'Empat-belas, Pak.'Kami tak begitu. Kami memang harus di-gas. Begitu keadaannya."republika/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " UAS dan Catur: Ironi Para Perundung Ulama "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg