• Menghalau Setan di Hati Kita

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 13 Agustus 2019
    A- A+
    KORANRIAU.co- Beberapa ritualitas syariat haji tak lepas dari sosok Nabi Ibrahim. Di antarnya yang paling langsung adalah wajib haji melempar jumrah. Ada jumrah aqabah, wustha, dan ula. Semua penjelasan pada penyampaian-penyampaian hikmah amaliah atau ibadah, melontar jumrah merupakan simbol melempar setan. Bisa dibayangkan jika ritual melempar jumrah ini dipahami secara syariat mentah, berarti di tiang-tiang jamarat itu merupakan perkampungan atau tempat berkumpulnya setan. Itu artinya sama dengan kita menyebut setan itu sebagai wujud sosok atau bahkan subjek. Apa sebenarnya asal-usul disyariatkannya melontar jumrah dalam ritual haji ini?

    Bermula dari Ibrahim mendapat perintah dalam mimpinya untuk menyembelih putranya (Ismail) yang diperolehnya pada usia tua dari seorang istrinya, Siti Hajar (Q.S al-Baqarah/2:131). Mimpi itu tidak sekali datang langsung dieksekusi oleh Ibrahim. Ternyata Ibrahim juga jadi korban bisikan di dalam dada --alladzi yuwaswisu fii shudurin nasi- seperti Adam.

    Dalam kajian hikmah dikabarkan bahwa Ibrahim tidak sekali mendapat perintah dalam mimpinya. Setiap mendapat mimpi, setiap itu pula Ibrahim mendapat bisikan ragu dalam harinya. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya)." (Q.S al-Shaaffaat/37:103). Saat sudah seperti ini pun tetap setan menggoda supaya Ibrahim tidak menyembelih putranya. Maka Ibrahim mengambil batu dan melemparkannya ke arah depannya seraya menghadap kiblat. Inilah asal jumrah aqabah.

    Begitu pun jumrah wustha disyariatkan ritualnya oleh karena ternyata ibu Ismail pun, Siti Hajar, juga mendapat bisikan setan di hatinya. Kepada Siti Hajar dibisikkan, "Bukankah anak itu kau dapat setelah Bapak sudah berumur? Bukankah dia, anakmu itu, sedang indah-indahnya dipandang mata? Mengapa harus kau biarkan Ibrahim suamimu menyembelihnya? Begitu pun Siti Hajar melempar setan dengan batu seraya menghadap kiblat dan berhasil menghalau setan dan memenangkan hatinya untuk menguatkan keimanan sang suami. Inilah asal jumrah wustha

    Ternyata pun Ismail sang putra Ibrahim, Bapak para Nabi itu, tidak luput dari bisikan yang bernama setan itu. Tetapi Ismail kecil telah mendapat kokohnya keimanan, sehingga setan pun dilemparnya dengan batu seraya menghadap kiblat. Ismail berkata kepada ayahnya, "Tutup matamu, Ayah, baringkan aku di batu ini, mari kita sama-sama ber-qiblat, lakukanlah perintah Tuhanmu." Ismail menguatkan ayahnya, dan berhasil menghalau setan di hatinya. Inilah asal jumrah ula disyariatkan.

    Ketiga subjek udlhiyah ini berhasil menghalau setan di hati, berpendirian hati atau beragama senantiasa tertaut kepada Tuhan mereka. Maka Allah pun membalasnya dengan kebahagiaan. Bentuk balasan itu bahwa Sang Anak pujaan hati diselamatkan oleh Allah. Wafadainahu bidzabhin 'azhin --"Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar." (Q.S al-Shaffat/37:107). Inilah asal syariat udlhiyah atau menyembelih hewan kurban pada setiap rangkaian Idul Adha.

    Untuk memperoleh hikmah atau sesuatu yang bermanfaat, maka kita harus menyediakan perhatian serius untuk memahami substansi makna dari ritual jumrah aqabah, wustha, dan ula ini adalah tentang bacaan yang mengiringi ritual ini, yaitu Bismillahi Allahu Akbar rajman li al-syayathin --"Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, pukulan bagi setan-setan."

    Dengan bacaan ini nyatalah bahwa bukan batu yang kita lontarkan itu yang menjadi pukulan bagi setan. Dalam kajian ilmu hikmah berbasis Wujud bahwa pertemuan bismillah dengan allahu akbar itulah sebagai pukulan bagi setan. Artinya karena bismillah bertemu allahu akbar itu, maka setan terpukul dan tak berdaya. Jika kajian ini hanya berhenti pada bacaan, maka tidak akan dapat substansi makna yang riil.

    Bismillah --"Yang Dengan Nama Allah"-- ialah wujud yang datang dari Allah. Bismillah adalah Ruh, adalah diri kita. Dalam Q.S al-Syura/42:52 dijelaskan bahwa Ruh adalah cahaya. Jadi bismillah itu hamba bertemu Sang Akbar sebagai Tuhan, itulah pukulan bagi setan. Jika hamba datang bertemu Tuhannya secara hakikat, maka hati hamba itu diintervensi oleh Tuhannya, Allah, terpukulah setan tak berdaya menggoda hati sang hamba, maka hati hamba tersebut menjadi baik. Dengan syarat sang hamba datang kepada Tuhannya secara hakikat di tempat yang telah ditetapkan sebagai tempat berhubungan atau tempat pertemuan (Q.S al-Baqarah/2:125, al-A'raf/:43, al-Hajj/22:32-33, al-Balad/90:1-3). Inilah hikmah besar dari syariat wajib haji yaitu melontar jumrah.

    Dalam beberapa riwayat disampaikan bahwa pada setiap selesai melempar jumrah dianjurkan berdoa dan doa diijabah oleh Allah. Maka setelah jumrah aqabah berdoalah semua tentang kita sebagai laki-laki atau sebagai kepala keluarga, sebagai suami, sebagi ayah dari anak-anak kita, sebagai bagian dari bangsa, sebagai pendidik, dan seterusnya. Karena syariat jumrah aqabah sebagai jejak Ibrahim bebas dari bisikan setan.

    Lalu setelah melempar jumrah wustha berdoalah tentang istri kita. Doakan semuanya yang kita hajatkan dan harapkan dari istri kita. Karena syariat jumrah wustha merupakan jejak dari dari Siti Hajar sebagai istri dan sebagai seorang ibu berhasil dan bebas dari bisikan setan di hatinya.

    Kemudian yang terakhir, setelah melontar jumrah ula, berdolah kita tentang semua yang kita hajatkan dan harapkan dari anak-anak kita. Karena syariat jumrah ula ini merupakan jejak dari sosok Ismail yang juga berhasil membebaskan dirinya dari bisikan setan di hatinya. Tentu doa yang paling ideal bahwa kita ingin anak-anak kita seperti Ismail yang beriman dan meneguhkan keimanan orangtuanya.

    Dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara, tentu hikmah besar yang harus kita realisasikan setelah berikhtiar memohon intervensi Tuhan supaya hati ini jadi baik, ialah kita harus mewujudkan karakter rela berkorban dalam perjuangan. Tentu pada sektor dan lingkup tanggung jawab tugas dan fungsi kita masing-masing.

    Ternyata sifat kikir yang melahirkan sifat tamak-loba adalah sifat yang paling diimani oleh setan. Jika setelah melakukan syariat jamarat kita masih kikir dan tamak-loba, artinya kita sedang hampa dari hikmah jamarat. Boleh juga sifat kedermawanan itu tidak harus berupa harta-benda, walau itu mesti, tapi bisa berupa kaya solusi dalam berpartisipasi menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa. Juga bisa berupa yang lain, yang intinya mencerminkan bahwa hati kita itu telah mendapat intervensi Tuhan menjadi baik dan cenderung berbuat dan mewujudkan yang baik-baik.

    Penulis: Dr. H. Syarif, S.Ag, M.A (Rektor IAIN Pontianak).detikcom/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Menghalau Setan di Hati Kita "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg