Alfikri Lubis (Foto : Istimewa) |
Berbicara tentang masalah korupsi di Indonesia, kita telah dihadapkan pada tantangan besar untuk pemberantasan kejahatan tersebut, mengingat dalam diskursus Internasional Indonesia pernah disebut-sebut sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Lembaga peradilan dan Undang-undang yang telah ada ternyata belum signifikan dalam memberantas kejahatan korupsi. Bahkan Lembaga Peradilan juga tidak luput dari tindak kejahatan korupsi. Bisa dikatakan Korupsi menjalar hampir ke semua dimensi vital Negara salah satunya wilayah Legislatif.
Isu tentang eks koruptor dilarang menjadi calon anggota legislatif (Caleg) masih menjadi isu yang menarik untuk dikaji sampai saat ini. Tentu dalam hal ini ada dua pihak Pro dan Kontra yang saling mempertahan posisi masing-masing dengan dalil argumentasi yang menguatkan para pihak.
Pembahasan permasalahan ini seharusnya sudah keluar dari kerangka berpikir tentang Hak Asasi Manusia, karena konstitusi sudah mengatur bahwa Setiap warga negara juga berhak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan sebagaimana yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (3), tetapi ada kalanya juga Negara Membatasi Hak Warga negaranya sebagaimana dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28j ayat (2) dan dipertegas dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, pembatasan atau pencabutan hak asasi manusia hanya diperkenankan berdasarkan undang-undang. Tujuannya, menjamin pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang didalamnya memuat larangan mantan napi korupsi ikut pemilihan legislatif. Larangan eks koruptor nyaleg tertuang dalam Pasal 7 ayat 1 huruf h. Selain mantan terpidana korupsi, mantan bandar narkoba hingga mantan pelaku kejahatan seksual anak pun dilarang jadi caleg. Jika dikaji dalam perspektif hukum tata Negara, PKPU sebagai produk hukum yang dikeluarkan KPU tidak mempunyai otoritas dalam membuat dan menetapkan “Norma”. PKPU seharusnya menjelaskan hal-hal yang sudah diatur dalam UU dan memberikan gambaran teknis dalam pelaksanaan UU yang mengatur. Namun Persoalannya adalah ketentuan peraturan perundang-undangan masih belum mengatur terkait larangan mantan napi korupsi ikut pemilihan legislatif ".
Dan disatu sisi Bawaslu sudah meloloskan sejumlah Mantan Napi Korupsi sebagai calon anggota legislatif, Bawaslu sudah memposisikan diri bertentangan dengan Peraturan KPU nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Hal ini memperlihatkan tidak adanya komitmen bersama untuk mewujudkan Lembaga Legisltaif yangg berintegritas, Jujur, dan Bersih.
Bawaslu RI adalah Lembaga Pengawas, yang seharusnya bertugas dan bekerja mengawasi Pelaksanaan dari Peraturan KPU dengan baik. Namun terkait dengan Peraturan KPU nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Bawaslu RI justru mengambil posisi yang berlawanan dengan Peraturan KPU. Tentu hal ini menjadi pertanyaan sejauh mana komitmen penyelenggara Negara dalam menghadapi dan mencegah terjadinya Korupsi untuk kesekian kalinya.
Korupsi yang merugikan kepentingan orang banyak seharusnya tidak dapat ditolerir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena sudah merampas keuangan Negara dan juga merampas hak warga Negara untuk menikmati dan merasakan kebijakan pembangunan para elite kekuasaaan. Penyalahgunaan kekuasaan adalah perbuatan yang kejam dan sangat mengingkari kepercayaan masyarakat terhadap elit politik yang dipercaya dan dipilih langsung oleh rakyat. Adanya amanah dalam mengemban kekuasaan semestinya dipahami sebagai simbolisasi kepercayaan yang dilimpahkan kepada elit politik yang dipilih langsung oleh masyarakat. Larangan mantan napi korupsi untuk mecalonkan diri sebagai anggota legislatif menjadi wajar karena mereka yang dipercaya rakyat, tetapi justru mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Kekhawatiran muncul tatkala dewan yang sudah duduk kembali melakukan kesalahan yang sama dan berpotensi pengulangan kejahatan yang sama karena sudah menguasai teknik lapangan.
Seharusnya dalam menghadapi dan memberantas permasalahan korupsi, perlu adanya suatu kesamaan persepsi antar para pihak terkait. Penyelengara Negara juga dituntun untuk mempersempit ruang gerak Para pelaku tindak pidana Korupsi untuk merongrong keuangan Negara
Kasus korupsi Berjamaah oleh Anggota DPRD kota malang yang sedang hangat diperbincangkan seharusnya menjadi acuan dan evaluasi penyelenggara Negara dalam hal ini KPU dan Bawaslu untuk mempersiapkan Pemilu. Legislatif masih akrab dan ramah dengan Koruptor, menurut penulis Legislatif adalah cikal bakal sarang Koruptor.
Orang-orang yang memiliki rekam jejak yang bagus bisa berubah jadi Koruptor ketika sudah menjadi anggota anggota Legislatif. Apalagi jika anggota legislatif di isi oleh alumni Koruptor dan bergabung dengan anggota legislatif yang masih memiliki catatan yang baik akan berjemaah bersamasama untuk merongrongrong keuangan Negara. Karena para pihak didalamya sudah menguasai kondisi lapangan. Silahkan dibantah jika tidak setuju dengan pernyataan ini.
Karena dari para politisi yang terpilihlah nantinya akan diberi kepercayaan jabatan penyelenggara negara untuk mengelola keuangan Negara dan menentukan alokasi anggaran pemerintah (hak budgeting), melaksanakaan amanat dan membuat Undang-Undang, menentukan arah kebijakan pembangunan (termasuk pembangunan hukum dimana hal ini berdasarkan kenyataan jika setiap produk hukum (undang undang) merupakan keputusan politik, sehingga hukum bisa dilihat sebagai perwujudan dan pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi yang ada di Parlemen)", bisa dikatakan bahwa para elit politik adalah para penentu kebijakan stragis negara dalam memenuhi kepentingan dan hajat orang banyak.
Oleh sebab itulah perlu adanya perbaikan aktor-aktor Politik masa depan,tidak cukup hanya dengan peraturan KPU tetapi juga harus diwujudkan melalui Undang-undang sebagai dasar penyelenggaraan Negara . Mewujudkan indonesia yang bebas dari korupsi tidak bisa dengan membiarkan dan membuka akses bagi Para pelaku tindak pidana Korupsi terlebih bagi “Sang Mantan Napi Korupsi” untuk tumbuh dan berkembang di dalam pengambilan kebijakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena Hukum disini harus berfungsi sebagai Upaya prevensi Negara dalam menaggulangi kejahatan.
Masyarakat pun harus cerdas dalam menentukan pilihannya nanti. Menurut penulis ” Kalau ada orang pernah diberikan wewenang tapi menyalahgunakan wewenang tersebut, masih pantaskah diberi wewenang kembali” ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih agar kelak tidak salah pilih dan masyarakat tidak dikhianati lagi.
Tulisan kiriman: Alfikri Lubis
(Mahasiswa Universitas Riau)
Disaat KPU dilema, disaat itu pula lah kita harus memberi dukungan.
BalasHapusThe Best Bg Alfikri