KORANRIAU.co-Fakta Joe Biden memenangkan Pilpres Amerika Serikat 3 November lalu masih tidak bisa diterima Presiden Donald Trump dan partainya, Republik.
Beberapa hari setelah pemungutan suara berlangsung, Trump menegaskan niatnya untuk menempuh jalur hukum demi menuntut pemilu yang dinilainya curang. Trump dan timnya menuduh terjadi kecurangan suara di Pennsylvania dan negara bagian lainnya yang memenangkan perolehan suara Biden.
Namun, sejauh ini tim Trump belum membuktikan apa-apa di pengadilan soal klaim tersebut.Selain jalur hukum, Trump juga disebut berupaya mempersulit proses transisi pemerintahan kepada Biden.
Kepala Pelayanan Umum Pemerintahan (General Services Administration/GSA) Emily Murphy, yang dipilih Trump, masih menolak menandatangani sejumlah dokumen agar masa transisi bisa segera dimulai. Tanpa persetujuan GSA, dana transisi dan fasilitas sumber daya lainnya tidak dapat mengalir ke Biden dan timnya.
Selain itu, Biden dan tim transisinya juga masih belum diberi akses terhadap informasi intelijen. Trump bahkan melarang Kemlu AS memberi Biden akses terhadap tumpukan pesan dari sejumlah kepala negara asing.
Hingga kini, Trump masih berkeras melanjutkan proses hukum. Tim kampanye Trump bahkan telah membuka penggalangan dana untuk membantu pembiayaan gugatan hukum terhadap hasil pilpres.
Trump juga diperkirakan tidak akan memberikan ucapan selamat kepada Biden ketika hasil resmi pemungutan suara electoral college keluar pada Desember mendatang.Presiden AS ke-45 itu juga diprediksi tak akan hadiri pelantikan Biden sebagai penerusnya pada 20 Januari 2021.
Selama ini, presiden AS yang baru lengser akan menghadiri pelantikan penerusnya. Ia kemudian akan dikawal secara seremonial oleh presiden baru ke helikopter yang akan membawa sang mantan presiden ke kediaman pribadi.
Namun, jika Trump tidak hadir dalam pelantikan Biden, Ketua Dewan Perwakilan AS, Nancy Pelosi, yang akan menggantikan Trump sebagai presiden sementara. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Suksesi AS.
Menurut ahli hukum dari Universitas Harvard, Profesor Laurence Tribe, tidak ada yang bisa dilakukan Trump meski dirinya berkeras tetap berada di Gedung Putih setelah hasil resmi pemilu keluar.
"Undang-undang jelas menjabarkan prosedurnya, sidang bersama Kongres baru diadakan 6 Januari 2021, akan melakukan penghitungan suara elektoral dan penetapan pemenang pemilu sebagai presiden terpilih. Sementara presiden AS ke-46 akan dilantik pada 20 Januari 2021," kata Tribe kepada Middle East Eye.
"Setelah kalah pemilu, Trump tidak akan memiliki cara untuk mempertahankan kekuasaan kepresidenan. Setelah lengser, Trump akan menjadi warga sipil dan setiap warga sipil yang secara tidak benar mengaku sebagai pejabat eksekutif merupakan bentuk tindakan kriminal," kata dia.
Tribe mengatakan aturan itu berlaku tak hanya untuk Trump, tapi juga seluruh pejabat di masa pemerintahannya.
Hal serupa juga dinyatakan oleh Profesor Hukum University of California yang memiliki spesialisasi persoalan pemilu, Richard Hasen.
"Jika negara terus mengikuti konstitusi yang ada, saya melihat tidak ada jalan konstitusional yang masuk akal bagi Trump untuk mempertahankan jabatannya sebagai presiden, kecuali ada bukti baru dari beberapa kecurangan besar sistem pemilu di banyak negara bagian," kata Hasen seperti dikutip The Guardian.
Namun, jika Trump dapat membuktikan bahwa ada kecurangan dalam pemungutan suara, dia memiliki hak untuk membawa hasil pemilu ke pengadilan federal hingga Mahkamah Agung.
Mahkamah Agung selanjutnya akan memutuskan sengketa tersebut. Meski begitu, tidak ada jaminan bahwa pengadilan akan meneruskan gugatan Trump itu.detikcom/nor
No Comment to " Menakar Nasib Trump jika Menolak Keluar Gedung Putih "