• Kisah Habibie dan Republika

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 12 September 2019
    A- A+

    KORANRIAU.co-Innalillahi wa inna ilaihi rojiun... Presiden Ketiga RI, Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng wafat pada Rabu, 11 September 2019.

    Untuk itu, Republika.co.id menurunkan kembali edisi khusus "80 Tahun BJ Habibie" yang sudah ditayangkan Koran Republika ketika beliau berulang tahun ke-80. Semoga beliau diberikan tempat terbaik di sisi Allah subhana wata'ala dan diterima segala amal ibadahnya, diampuni segala kesalahan dan dosanya. Allahhummaghfir lahu warhamhu wa'aafihi wa'fu anhu...

    Pada suatu hari, Maret 1992, BJ Habibie yang kala itu menjabat sebagai menteri riset dan teknologi (menristek) menyambangi Presiden Soeharto. Tujuannya, ia ingin melaporkan keinginan Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang ia pimpin menerbitkan media cetak untuk komunitas Muslim. Habibie kala itu juga datang untuk meminta izin prinsip mengingat penerbitan media pada masa Orde Baru kala itu bukan perkara mudah.

    Orde Baru sudah awam diketahui sebagai rezim yang mengontrol dengan ketat penerbitan di Indonesia. Isi yang diterbitkan berbagai media cetak diawasi dengan ketat. Ancaman pemberedelan adalah kenyataan yang sehari-hari harus dihadapi pekerja media.

    Kala itu, untuk menerbitkan media, penerbit harus mendapatkan surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP). SIUPP ini dikontrol ketat oleh Departemen Penerangan. Tak hanya sukar diperoleh, biayanya juga tak murah. Di situlah kemudian Habibie menegaskan perannya. Dengan posisinya yang kuat di pemerintahan, ia bisa melangkahi Harmoko sebagai menteri penerangan kala itu.

    Di hadapan Soeharto, Habibie juga berhasil memperoleh restu penerbitan. “Baik, kalau memang ICMI ingin membikin koran,” kata Soeharto kepada Habibie kala itu, seperti ditulis dalam buku Melintas Zaman yang terbit dalam peringatan HUT ke-17 Republika. Dengan restu itulah kemudian pengurusan segala administrasi yang diperlukan untuk menerbitkan koran berjalan lancar.

    Media cetak yang diperjuangkan Habibie saat itu memang bukan koran sekadar koran. Ia adalah buah gagasan para cendekiawan di ICMI yang merasa umat sangat memerlukan media yang bisa menyuarakan aspirasi umat. Kebanyakan tokoh ICMI tersebut masih ingat bagaimana umat berulang kali dipojokkan rezim dan media yang direstui pemerintah sepanjang rezim Orde Baru.

    Mulai dari pemberitaan tentang Komando Jihad pada pertengahan 1970-an yang sangat berat, sebelah hingga kasus Tanjung Priok yang banyak menyisakan tanda tanya karena pemberitaan dibatasi kala itu. ICMI sebagai wadah intelektual umat Islam menilai keseimbangan informasi merupakan kebutuhan mutlak bagi umat Islam.

    Setelah melalui berbagai jalan, pada 19 Desember 1992 akhirnya SIUPP dikeluarkan pemerintah untuk PT Abdi Bangsa yang bakal menjadi penerbit koran ICMI tersebut. Beberapa nama sempat diusulkan. Zaim Uchrowi, petinggi koran Berita Buana yang ditunjuk sebagai salah satu perancang koran baru tersebut, menempatkan “Republik” pada tempat teratas dari 10 daftar nama yang digodok.

    Mereka juga kemudian membuat mock up media tersebut dengan nama “Republik”. Koran “bohong-bohongan” itu kemudian dibawa Habibie, Parni Hadi, dan beberapa pengurus ICMI ke Soeharto.

    “Hmm, bagus … bagus …” kata Soeharto. “Tapi, lebih baik di belakangnya ditambahi ‘A’, jadi ‘Republika’, ya. Biar tidak muncul persepsi yang macam-macam,” kata Soeharto dengan senyum khasnya kala itu. Dari situ, resmilah sudah, koran umat yang diperjuangkan ICMI dan Habibie akan dinamai “Republika”.

    Pada HUT ke-17 Republika silam, Habibie secara khusus meminta Republika tetap menjadi insan pers yang berkualitas dan bermartabat. Saat menghadiri acara ulang tahun ke-17 Republika di Hotel Indonesia Kempinski, Jakarta, 2010 itu, Habibie memberikan sejumlah catatan penting kepada keluarga besar Republika.

    Pertama, perlunya menyeimbangkan kebebasan pers dengan bertanggung jawab. "Hal ini diharapkan adanya pemberitaan yang baik dan memberikan efek yang baik pula," ujar Habibie. Ia menilai kebebasan pers jangan dibiarkan agar tidak berdampak negatif dan desktruktif.

    Kedua, pesan Habibie, tingkatkan profesionalitas pers Republika. "Melalui profesional akan tercipta kualitas. Melalui profesionalitas itu, kebebasan pers dapat terjaga. Melalui profesional itu pula tercipta tanggung jawab pers,” tuturnya.

    Ketiga, menjaga konsistensi. Habibie berharap Republika dapat terus menjaga konsistensi terhadap apa yang menjadi tujuannya. "Adalah tugas saudara sebagai pengelola untuk melakukan perubahan dan pencerahan nasib umat bukan pekerjaan semalam saja, tetapi panjang dan lama," pesan Habibie.

    Sami’na wa atho’na. Kami mendengar dan kami menaati, Eyang….

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Kisah Habibie dan Republika "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg