• Kepastian Hukum Perubahan Kedua UU ITE

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 09 Januari 2024
    A- A+


    KORANRIAU.co- Rapat Paripurna DPR pada 5 Desember 2023 telah menyepakati RUU tentang perubahan kedua UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi UU. Terhitung sejak Februari 2023, pemerintah sudah bergerak mempersiapkan materi perubahan kedua UU ITE. Perubahan ini disambut hangat. Apalagi perubahan kedua ini dilakukan dalam rangka menjawab keresahan publik akan ketidakpastian hukum di dalam UU ITE.
    Perubahan kedua ini menjadi sorotan tatkala materi regulasi ternyata tidak mencabut pasal yang dianggap menimbulkan polemik, termasuk Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Padahal multitafsir akan pasal tersebut selama ini disinyalir sebagai salah satu penyebab ketidakpastian hukum UU ITE. Masih hadirnya pasal tersebut di dalam perubahan kedua UU ITE mengingatkan kita kepada perubahan pertama UU ITE.

    Penghapusan Pasal 27 ayat (3) kerap disuarakan. Namun, nyatanya pasal tersebut masih dipertahankan. Mengutip pernyataan Menkoimfo saat itu bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mungkin untuk dihapuskan karena dapat menghilangkan efek jera.


    Perjalanan Panjang

    Sekitar 15 tahun yang lalu, tepatnya pada 21 April 2008, UU ITE disahkan dan diundangkan. Pengundangan tidak terlepas dari semakin berkembangnya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Permasalahan kemudian muncul ketika UU ITE mulai diimplementasikan. Masih pada tahun yang sama, UU ITE menjadi trending topic. Kita tidak akan mungkin lupa dengan kasus Prita Mulyasari yang dipidana hanya karena sebuah surat elektronik pribadi yang berisi kritikan akan layanan RS Omni.

    Dalam sekejap, Prita menjadi pusat perhatian publik. Proses persidangan berlangsung lama dan alot hingga ke tingkat Peninjauan Kembali. Namun, Prita akhirnya diputuskan tidak bersalah. Pascakasus Prita, kasus-kasus serupa lainnya dengan tuduhan pencemaran nama baik pun bermunculan.

    Pada 2016, UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE disahkan dan diundangkan. UU ini didesain sebagai solusi atas permasalahan implementasi UU ITE. Salah satu perubahannya adalah penegasan bahwa tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik dalam bidang informasi elektronik dan transaksi elektronik merupakan delik aduan.


    Selain itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dilakukan penyelasaran dengan sistem hukum pidana materiil di Indonesia melalui penambahan penjelasan pasal 27 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4). Penghapusan Pasal 27 ayat (3) urung dilakukan. Pasca pengundangan perubahan pertama UU ITE, alih-alih memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, korban UU ITE malah terus bertambah. Amnesti Internasional Indonesia mencatat terdapat 332 korban yang hak kebebasan berekspresinya dilanggar dalam rentang waktu Januari 2019 - Mei 2022.

    Angin Segar

    Disetujuinya RUU perubahan kedua UU ITE menjadi UU diharapkan dapat memberikan angin segar. Perubahan terhadap 14 pasal dan penambahan 5 pasal diyakini akan lebih memberikan kepastian hukum. Salah satu ketidakpastian hukum akibat dari multitafsir penerapan UU ITE, terutama Pasal 27 ayat (3) adalah terkait dengan limitasi hak kebebasan berekspresi.

    Eksistensi hak tersebut dalam koridor UU ITE menjadi menarik untuk diperhatikan. UNESCO menyatakan bahwa hingga saat ini 80% negara masih memberlakukan pidana terhadap pencemaran nama baik. Beberapa negara telah melakukan dekriminalisasi tindakan pencemaran nama baik dengan pertimbangan adanya risiko pelanggaran terhadap hak kebebasan berekspresi.

    Melalui UU ITE, Indonesia masih menjadi salah satu negara yang memidanakan pencemaran nama baik. Pada 2021, Indonesia menjadi sorotan OHCHR. Melalui press release-nya, Indonesia pernah diminta untuk menghentikan kriminalisasi terhadap hak kebebasan berekspresi. Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjamin kepastian hukum di dalam perubahan kedua UU ITE terutama terkait dengan hak kebebasan berekspresi?

    Kepastian Hukum

    Menjawab pertanyaan tersebut, dekriminalisasi tindakan pencemaran nama baik rasanya bukan menjadi ultimate goal pemerintah, sehingga regulasi yang efektif untuk memberikan kepastian hukum merupakan cara yang dapat ditempuh. Satjipto Rahardjo melalui teori hukum progresif menyatakan bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang diciptakan untuk manusia, bukan sebaliknya.

    Sebagai salah satu penganut hukum progresif, menurut saya pribadi, pandangan hukum ini dapat diaplikasikan dalam perubahan kedua UU ITE. Memberikan kepastian hukum menggunakan mazhab hukum positif pada prinsipnya memang ideal untuk dilakukan. Namun, perlu untuk diingat, terutama ketika berbicara mengenai kebebasan berekspresi, penerapan hukum positif menurut saya tidak dapat menjamin terpenuhinya hak tersebut tanpa mencederai hak individu lainnya. Melalui hukum progresif, setiap hak individu seharusnya akan diperhatikan dan dipertimbangkan secara seimbang.

    Sejalan dengan pandangan tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perubahan kedua UU ITE untuk memberikan kepastian hukum yaitu yang pertama dalam proses penyusunan UU itu sendiri. Morality of Law Theory Fuller menyatakan bahwa hukum yang efektif adalah hukum yang pengaturannya jelas dipahami oleh publik (tidak multitafsir) dan konstan untuk menghindari ketidakpastian hukum.

    Mengingat RUU perubahan kedua UU ITE sudah disahkan menjadi UU, materi regulasi seharusnya sudah dipertimbangkan pemerintah secara matang dan menjamin bahwa kepastian hukum dapat tercipta tanpa harus melimitasi mutlak hak kebebasan berekspresi. Terkait pencemaran nama baik, materi regulasi telah disesuaikan antara lain implementasinya yang dikecualikan dalam situasi membela diri.

    Regulasi seyogianya mempertimbangkan prinsip ICCPR di mana limitasi hak kebebasan berekspresi dilakukan dalam hal antara lain memang telah diatur hukum secara jelas; untuk tujuan tertentu, salah satunya untuk melindungi reputasi individu lain dan melindungi keamanan nasional; serta diterapkan dengan seimbang. Hal ini juga yang perlu untuk diperhatikan dalam hal akan diterbitkan peraturan pelaksana dari perubahan kedua UU ITE.

    Kemudian yang kedua adalah pasca pengundangan. Masih mengacu teori yang disampaikan oleh Fuller, regulasi hendaknya sejalan dengan proses penegakan hukumnya. Oleh karena itu, sosialisasi regulasi kepada seluruh pihak yang terkait, terutama penegak hukum penting untuk dilakukan. Menurut prinsip promulgated Fuller, regulasi memang harus disosialisasikan secara layak dan sudah sepatutnya mudah untuk diakses publik agar seluruh pihak memiliki pemahaman yang sama akan suatu regulasi, sehingga regulasi terlaksana secara efektif dan kepastian hukum pun tercapai.

    Perubahan kedua RUU ITE ini merupakan salah satu bukti bahwa pemerintah aware akan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Namun di sisi lain, perubahan ini juga menunjukkan bahwa dinamika yang ada dapat berdampak signifikan kepada efektivitas regulasi. Oleh karena itu, selain memformulasikan regulasi yang tepat, seimbang, dan forward looking, menjamin pemahaman yang sama akan regulasi akan menjadi tugas besar pemerintah dalam menciptakan regulasi yang memberikan kepastian hukum.

    Oleh: Leo Chris Evan Sinulingga analis hukum

    detik/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Kepastian Hukum Perubahan Kedua UU ITE "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg