• Demokrasi dan Posisi Umat

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Sabtu, 21 Januari 2023
    A- A+




    KORANRIAU.co-Definisi umat dalam konteks Indonesia kontemporer adalah sebuah yang rancu bersifat dan adhoc. Secara sosiologis, yang dikategorikan sebagai umat Islam itu adalah yang jumlahnya mendekati 90 persen itu. Sementara secara ideologis, definisi itu sangat ditentukan oleh era tertentu dalam sejarah. 


    Pada tahun 1950-an dalam era Demokrasi Liberal, umat ideologi itu adalah mereka yang memilih partai-partai Islam dalam Pemilu 1955 dengan perolehan 116 kursi dari 257 kursi dalam parlemen. Kemudian pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1965/66), setelah Masyumi diperintahkan bubar dan terbentuknya DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong), jumlah kursi mereka dalam Dewan turun secara drastis. 


    Pada era berikutnya, era Orde Baru (11 Maret 1966-21 Mei 1998), apalagi setelah ditetapkannya UU Kepartaian dan Keormasan 1985, definisi umat ideologis itu menjadi "kacau" sama sekali. Dengan sedikitnya pengantar itu, diskusi ini ingin melihat posisi umat dalam wacana demokrasi yang masih dalam proses mencari format yang pas di era transisi yang sangat kritis setelah sistem Orde Baru runtuh.Sementara secara ideologis, definisi itu sangat ditentukan oleh era tertentu dalam sejarah.


    Umat dan demokrasi Berbeda dengan kebanyakan bangsa Muslim di Asia Barat dan Afrika Utara yang menolak sistem demokrasi, umat Islam Indonesia menerima dan memperjuangkan sistem ini dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan. Mereka melihat demokrasi sebagai sesuatu yang kompatibel dengan doktrin syura dalam Alquran.



    Selain karena doktrin, data sosiologis mayoritas penduduk Muslim Indonesia semakin mengukuhkan keyakinan mereka bahwa hanya melalui sistem demokrasi cita-cita dan aspirasi politik mereka dapat tersalur secara proporsional. Asumsi dasar di atas secara teoritik tidak pernah mengalami perubahan sejak proklamasi, sekalipun dalam realisme politik sering muncul dalam bentuk yang zig-zag. 


    Tekanan budaya politik feodal-otoriter sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai dengan tumbangnya Orde Baru adalah faktor utama mengapa cita-cita demokrasi umat Islam menjadi kandas dalam perjalannya. Dalam berpapasan dengan sistem otoriter, umat dalam arti ideologis terbelah menjadi dua dengan variannya masing-masing.


    Pada masa Demokrasi Terpimpin, faksi Liga Muslimin memasukkan diri ke dalam sistem itu demi survival, sementara Masyumi melawannya dengan risiko dihancurkan. Pada era Orde Baru tak satu pun partai politik yang independen, semua dikuasai oleh sebuah pusat kekuasaan otoriter yang bernaung di bawah payung Pancasila dan UUD 1945.

     

    Pada masa Demokrasi Terpimpin, faksi Liga Muslimin memasukkan diri ke dalam sistem itu demi survival.


    Baik Demokrasi Terpimpin maupun sistem Orde Baru yang antidemokrasi sama-sama berujung dengan malapetaka politik dan ekonomi yang harus diderita oleh bangsa ini secara keseluruhan, khususnya rakyat kecil yang sejak zaman penjajahan tidak berdaya. Rakyat kecil inilah yang sering terombang-ambing oleh janji dan retorika politik yang menyesatkan sampai hari ini. 



    Sekalipun kita sedang berada dalam kondisi yang serba tidak menentu dan agak mencemaskan, cita-cita demokrasi yang sehat tidak boleh lenyap dari kalbu umat yang berpikiran waras, yang mampu melihat bahwa untuk menegakkan sebuah bangunan demokrasi ternyata tidak mudah.


    Kebebasan yang dipasung selama hampir empat dekade telah menempatkan bangsa ini pada posisi yang harus belajar kembali menjadi dewasa secara politik (a nation in learning, kata seorang pengamat). 


    Kemenangan dua partai non-religius dalam Pemilu 1999 pada 15 dan 11 daerah pemilihan merupakan fenomena politik yang menarik untuk dicermati lebih jauh, sekalipun saya melihat bahwa kemenangan ini tidak akan permanen mengingat faktor-faktor di bawah ini:


    Pertama, keterpasungan politik selama hampir empat dekade hingga munculnya era BJ Habibie sejak setahun yang lalu tidak memungkinkan rakyat untuk berpikir obyektif dan jernih dalam menentukan pilihan pada pemiliu baru-baru ini. Sampai batas-batas yang jauh, yang terjadi adalah "kemenangan" kekuatan irrasional berhadapan dengan kekuatan rasional. 


    Sampai batas-batas yang jauh, yang terjadi adalah "kemenangan" kekuatan irrasional berhadapan dengan kekuatan rasional.


    Kedua, kebanyakan pemilih tidak mengerti betul mana kekuatan yang betul-betul dapat dikategorikan sebagai pendukung cita-cita reformasi dan mana kekuatan yang hanya kelihatannya reformis. Bahkan yang lebih ironis lagi ialah sebagian orang tidak menghiraukan perbedaan kekuatan reformis substantif dan kekuatan reformis retorik. 


    Euforia politik telah mengaburkan perbedaan antara substansi dan kulit. Tetapi semuanya ini adalah ongkos yang harus dikeluarkan untuk sebuah demokrasi. Ketiga, pada saatnya nanti rakyat akan keluar secara sadar dari euforia politik itu. 


    Mereka akan tampil sebagai critical-mass yang cerdas dalam pemilu yang akan datang. Pada saat itu diharapkan kekuatan rasional akan mengalahkan kekuatan irrasional yang pada hakikatnya lebih merupakan beban sejarah.


    Memang dalam situasi yang serba emosional dan irrasional orang tidak boleh berharap terlalu banyak akan tampilnya sebuah demokrasi yang bulat. Wajah gepeng pasti akan menjamur di mana-mana. Panorama yang bukan mustahil akan muncul adalah fenomena "tukang ojek" bakal terpilih jadi bupati. 


    Tetapi inilah biaya demokrasi yang harus dilunasi sampai pada suatu titik di mana orang muak dengan segala topeng dan kepalsuan politik.


    Tetapi inilah biaya demokrasi yang harus dilunasi sampai pada suatu titik di mana orang muak dengan segala topeng dan kepalsuan politik. Saya melihat bahwa umat secara keseluruhan akan tampil sebagai avant-garde kekuatan rasional pada Pemilu 2004 dengan catatan bahwa mereka mau belajar secara jujur dan cerdas dari pengalaman Pemilu 1999. 


    Dengan optimisme di atas, pilihan strategis yang terbuka di depan kita adalah mengoreksi diri sejujur-jujurnya, mengatur siasat secermat mungkin, membuang jauh-jauh egoisme golongan dan partai, dan memilih pemimpin melalui sistem syura-demokrasi yang sehat, dewasa, dan lapang dada. Islam, bila dipahami secara benar dan cerdas, sepenuhnya berpihak kepada akal sehat dan kedewasaan berpikir.


    Antara substansi dan simbol Pada saat umat Islam muncul ke permukaan sejarah abad ke-7 M di Arabia, Islam simbol terkait secara organik dengan substansi ajaran. Simbol mencerminkan substansi. Jadi posisinya kokoh sekali dan punya daya magnet yang luar biasa. 


    Doktrin tauhid sebagai substansi menyatu dengan kekuatan sejarah dengan wajah keadilan dan egalitarianisme. Nabi dan para sahabatnya bekerja keras agar antara substansi dan simbol selalu tercipta korelasi positif dan kreatif. 


    Doktrin tauhid sebagai substansi menyatu dengan kekuatan sejarah dengan wajah keadilan dan egalitarianisme. Dengan demikian dalam situasi sejarah yang tidak adil dan bopeng ketika itu, Islam datang dengan panji-panji keadilan yang dibawa turun ke bumi.


    Alquran dalam surat-surat Makkiyah dan Madaniyah sarat dengan pesan keadilan ini. Yang sangat impresif bagi para pengamat sejarah Islam adalah pembawa panji-panji itu sama-sama berpengaruh teguh kepada filsafat ''satunya kata dengan perbuatan''.

    Bila gagasan di atas digumulkan dengan situasi umat Islam di Indonesia, maka yang sering terlihat adalah masih menganganya jurang yang lebar antara substansi ajaran dengan simbol yang dipampangkan ke permukaan. Salah satu risiko dari fenomena di atas adalah semakin menipisnya kepercayaan rakyat kepada kepemimpinan Islam simbol, dan korup lagi. 

    Simbol kopiah haji, misalnya, belum tentu mencerminkan perangai yang saleh dan jujur. Inilah di antara problem serius yang harus kita atasi dalam tempo yang dekat ini, sekalipun untuk perubahan sikap mental bukanlah pekerjaan yang mudah. Namun kita tidak punya alternatif lain, kecuali menjadikan simbol sebagai wakil yang sahih dari substansi ajaran. 

    Untuk terciptanya sebuah bangunan demokrasi yang sehat di Indonesia, saatnya sudah sangat tinggi bagi para pemimpin umat agar membebaskan diri dari kebiasaan memainkan simbol-simbol agama bila semuanya itu tidak terbukti mencerminkan doktrin Islam yang substantif. 

    Alquran dan periode dini sejarah Islam harus diajak berunding dalam usaha menyusun strategi dan langkah-langkah politik yang akurat, cerdas, dan dewasa, semata-mata untuk kebaikan dan kepentingan sesama: Muslim dan non-Muslim. Bila optimisme tanpa langkah strategis yang jitu, maka bangunan demokrasi di Indonesia masih memerlukan tempo yang agak lama untuk terwujud. 

    OLEH AHMAD SYAFII MAARIF/republika

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Demokrasi dan Posisi Umat "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg