KORANRIAU.co-Indonesia kembali diuji situasi alam, yakni berupa tanah longsor yang terjadi di Banyumas, Jawa Tengah, pada Rabu (18/11).
Ini merupakan fenomena yang menggambarkan betapa kerentanan ekologis sangat dekat dengan kita. Indonesia merupakan negara tropis dengan curah hujan dan suhu udara tergolong tinggi.
Dengan kondisi seperti ini, sudah tentu bahaya tanah longsor, erosi lahan, banjir musiman, bahkan kekeringan merupakan bentuk lingkungan hidup yang harus kita kelola. Tanpa pengelolaan yang benar, sangat mungkin kehidupan kita selalu berada dalam ancaman.
Pembuatan Sumur Resapan
Bencana longsor sering dianggap sebagai fenomena alam, karenanya kerap lepas dari tanggung jawab manusia. Secara keilmuan, longsor juga merupakan bagian dari manajemen pengelolaan lingkungan hidup.
Pada sisi ini, kita melihat kepentingan lingkungan selalu dipertaruhkan, bahkan tersisihkan guna kepentingan lainnya.
Dengan demikian, longsor tidak dapat kita nafikan dari bentuk intervensi dan kepentingan manusia. Longsor merupakan bagian dari dampak kelalaian bersama dalam pengelolaan lahan. Maka itu, peristiwa longsor seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Wujudnya, penataan lahan dan lingkungan hidup. Pada sisi ini, kita melihat kepentingan lingkungan selalu dipertaruhkan, bahkan tersisihkan guna kepentingan lainnya. Hal ini jelas tampak pada UU Cipta Kerja.
Kepentingan lingkungan hidup dikesampingkan guna kepentingan lain yang dianggap lebih strategis. Sebut saja, penghapusan ketentuan kawasan hutan minimal 30 persen, pengubahan konsep izin lingkungan menjadi hanya “persetujuan”.
Selain itu, mereduksi hak akses masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, serta banyak pasal lainnya yang menjadikan kita bertanya, bagaimana negara seolah lepas dari prinsip kehati-hatian dan penataan ekologi berkelanjutan.
Dampak arah UU ini memang belum dapat kita rasakan, mengingat turunan dari UU atau peraturan pemerintah (PP) belum ada. Namun, kita patut bertanya, bagaimana semangat ekologi, lingkungan hidup, dan keberlanjutan semakin pudar dari fondasi bernegara.
Jika ini terus berlanjut, tentu ancaman ekologi semakin mendekat di kehidupan manusia. Lebih jauhnya, keberlanjutan lingkungan hanya menjadi jargon politik.
Jika ini terus berlanjut, tentu ancaman ekologi semakin mendekat di kehidupan manusia. Lebih jauhnya, keberlanjutan lingkungan hanya menjadi jargon politik.
Padahal, dari sisi konstitusi dan amanah bernegara, negara dan pemerintah seharusnya mampu memberikan jaminan bagi keberlanjutan hidup warga negaranya.
Masa depan lingkungan
Pada 1992, KTT Bumi Rio de Jainero sebenarnya telah merespons perubahan yang terjadi pada muka bumi. Perubahan ini disikapi dengan mengedepankan agenda lingkungan menjadi keutamaan dalam pembangunan.
Dari sinilah, isu pembangunan berkelanjutan dan green economy menjadi dasar yang harus dimasukkan dalam agenda pembangunan di setiap negara. Harapannya, daya dukung lingkungan kian membaik, bahkan mampu mendukung aktivitas masyarakat yang lebih besar.
Komitmen konservasi mutlak kita butuhkan saat ini. Terlebih, tanpa pengesahan UU Cipta Kerja pun telah terjadi penurunan luas lahan konservasi.
Faktanya, berdasarkan Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2020 saja telah terjadi 2.069 bencana. Bencana didominasi fenomena hidrometeorologi berupa banjir, puting beliung, dan tanah longsor.
Kenyataan ini jelas menampar kita semua. Bayangkan saja, berapa kerugian yang harus masyarakat tanggung akibatnya? Dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) sebenarnya negara lebih berkomitmen pada pembangunan lingkungan hidup yang lebih berkelanjutan.
Sayangnya, UU Cipta Kerja hampir mereduksi prinsip-prinsip lingkungan hidup. Dengan kondisi ini, tentu masyarakat dan generasi mendatanglah yang menanggung dampaknya. Daya dukung lingkungan yang semakin menurun adalah dampak di depan mata yang harus kita hadapi.
Implikasi jelas terlihat dari sulitnya mendapatkan air bersih, kekeringan, banjir, erosi, bahkan meningkatnya ancaman longsor merupakan dampak yang sudah kita rasakan.
Konservasi
Bumi tanpa konservasi adalah eksploitasi berlebih. Dihapuskannya ketentuan 30 persen kawasan hutan minimal menjadi tanda besar, akankah kita dipaksa bertoleransi akan menurun daya dukung lingkungan?
Pada sisi lainnya, kita juga dipaksa mendapatkan sumber daya alam yang lebih baik secara komersial. Akibat ini akan ditanggung kita semua, tanpa terkecuali. Karena itu, memperbesar komitmen konservasi menjadi tiang dalam penyelamatan kerusakan lingkungan.
Komitmen konservasi mutlak kita butuhkan saat ini. Terlebih, tanpa pengesahan UU Cipta Kerja pun telah terjadi penurunan luas lahan konservasi.
Konservasi di sini, bukan terbatas pada makna untuk mempertahankan areal hutan atau meningkatkan jumlah reboisasi, melainkan juga mengedepankan aspek lingkungan dalam setiap kegiatan usaha.
Termasuk mengubah perilaku dan cara pandang masyarakat tentang lingkungan. Terlebih lagi, mengubah cara pandang pemerintah terhadap lingkungan hidup. republika/nor
MARENDA ISHAK S, Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
No Comment to " Mempertanyakan Komitmen Konservasi "