• KAMI Bukan Kita?

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Sabtu, 22 Agustus 2020
    A- A+


    KORANRIAU.co- Di depan Tugu Proklamasi, Jakarta, 18 Agustus 2020, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dideklarasikan. Sejumlah tuntutan disampaikan kepada pemerintah seperti yang telah dirilis media. Publik dan pemerintah kini sudah tahu seperti apa maunya KAMI.

    Pertanyaan penting pun layak diutarakan: Apakah tugas KAMI langsung selesai setelah dideklarasikan? Jawabannya, tentu belum selesai, karena KAMI dibentuk bukan sekadar untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah dalam sekali kesempatan, melainkan dalam banyak kesempatan lain.


    Jika betul begitu, pertanyaan lain layak juga diutarakan: Tuntutan apa lagi yang akan disampaikan kepada pemerintah dan dengan cara apa tuntutan itu akan disampaikan oleh KAMI? Jika misalnya pertanyaan tersebut dijawab begini: Dengan cara kumpul lagi atau menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran, maka KAMI layak dianggap hanya sebagai panggung bagi mereka yang tidak punya panggung.



    Dalam demokrasi, setiap orang memang boleh saja membuat panggung untuk unjuk gigi, atau untuk mengejawantahkan syahwat politik, atau untuk apa saja yang dianggap bermanfaat bagi bangsa dan negara. Sampai pada titik ini, panggung yang telah dibuat harus boleh dinilai oleh publik, termasuk boleh dinilai pemerintah.


    Dengan demikian, jika KAMI betul-betul sebagai panggung untuk menyampaikan tuntutan kepada pemerintah, pemerintah juga berhak menyampaikan tuntutan balik. Misalnya, pemerintah menuntut agar KAMI benar-benar serius ingin menyelamatkan Indonesia, bukan malah memanaskan suhu politik yang sudah sejuk sejak Gerinda bergabung dengan partai koalisi yang sedang berkuasa yang ditandai dengan masuknya Prabowo ke dalam pemerintahan yang dipimpin Jokowi.


    Selain itu, sejak muncul berita tentang adanya KAMI, sebagian publik di media sosial mengunggah sindiran bahwa KAMI bukan kita. Artinya, KAMI dianggap sebagai kata ganti sekelompok orang sebagai satu pihak, sementara ada kita sebagai kata ganti sekelompok orang di pihak lain.


    Sindiran tersebut boleh jadi merupakan ungkapan sinisme atas lahirnya KAMI yang dinilai hendak memecah-belah rakyat yang dianggap telah bersatu menjadi kita. Sinisme tersebut bagaikan bola salju yang menggelinding makin besar. Karena itu, KAMI mau tidak mau akan menghadapi kelompok lain yang mengaku sebagai kita, selain menghadapi pemerintah yang dituntut harus begini harus begitu.


    Lantas, KAMI harus bagaimana dalam menghadapi mereka yang mengaku sebagai kita dan pemerintah? Tentu, mau tidak mau harus bersikap demokratis. Artinya, kalau mengaku berhak menuntut, maka harus bersedia dituntut. Kalau mengaku berhak melancarkan kritik, harus bersedia menerima kritik.


    Faktanya, jika KAMI lahir dari rahim demokrasi, maka tak boleh merusak demokrasi. Dalam hal ini, kalau misalnya ada banyak pihak yang mengaku sebagai kita melancarkan kritik kepada KAMI atau bahkan menghujat, maka tak perlu dilaporkan kepada polisi. Pada titik ini, KAMI benar-benar akan mendapat ujian berdemokrasi.


    Harus ada kesepakatan bagi semua pihak yang merasa lahir dari rahim demokrasi dan ingin menghormati demokrasi bahwa semua pihak harus sama-sama saling mencegah diri untuk tidak membungkam dengan jeratan hukum atau dengan intimidasi. Seperti pernyataan yang telah disampaikan oleh deklarator KAMI: Semakin diintimidasi, maka KAMI akan semakin bersemangat. KAMI tak akan takut terhadap intimidasi.


    Pernyataan tersebut harus dipegang dan berlaku bagi KAMI dan tentu saja bagi pihak lain termasuk yang mengaku sebagai kita untuk berbeda pendapat atau saling menghujat. Kebebasan berpendapat dan berkumpul harus tetap ada dengan atau tanpa adanya intimidasi. Namun KAMI maupun mereka yang mengaku sebagai kita jangan sampai ikut-ikutan saling mengintimidasi, termasuk dengan cara menggugat secara hukum pihak lain yang berani menghujat.


    Selain itu, KAMI juga mau tidak mau bersedia dinilai dan diprediksi bakal jadi apa saja, termasuk bakal jadi partai politik. Sebab, prediksi seperti itu bersifat normatif dalam ranah sosial politik. Artinya, setiap muncul kelompok baru yang bicara tentang politik dan kekuasaan termasuk tentang ketidakadilan, terbuka kemungkinan akan berubah menjadi partai politik, kalau tak mau hanya menjadi sekadar panggung untuk unjuk gigi saja bagi sementara kalangan.


    Namun, andai KAMI ternyata muncul sebagai embrio partai politik, publik yang mengaku sebagai kita mungkin akan menyayangkannya. Pasalnya, kalau KAMI kelak jadi partai politik, nasibnya tidak jauh berbeda dengan kelompok lain yang pernah ada dan sudah lebih dulu menjadi partai politik. Misalnya, akan mudah dikooptasi oleh kekuasaan sehingga idealismenya akan luntur.


    Padahal, untuk saat ini dan seterusnya, idealisme suatu kelompok yang dilahirkan oleh kalangan yang kritis dan cerdas seperti KAMI diperlukan sebagai semacam ventilator yang menghadirkan angin segar di tengah situasi dan kondisi yang sumpek akibat kooptasi politik yang dimainkan habis-habisan oleh penguasa.


    Memang tidak mudah menjadi KAMI, karena di sisi lain ada publik yang mengaku sebagai kita yang artinya bukan bagian dari KAMI. Tentu, publik yang mengaku sebagai kita adalah mereka yang mendukung pemerintah karena telah memilih dalam pilpres dan pilihannya ternyata yang menang.


    Jumlah mereka yang mengaku sebagai kita sudah pasti cukup besar dengan bukti telah menang pilpres. Dalam hal ini, KAMI harus memahami siapa kita, sebagai pihak lain, yang mungkin akan menolaknya atau tidak memilihnya ketika misalnya KAMI menjadi partai politik yang berhak mengikuti pemilu atau mengusung calon untuk bertarung di pilpres.


    Dalam dinamika demokrasi, kelompok baru seperti KAMI memang cenderung akan berhadapan dengan mereka yang mengaku sebagai kita. Kisahnya mungkin akan sering gaduh, khususnya di media sosial, di hari-hari berikutnya, berupa hujan sindiran, sinisme, dan hujatan. Sebab, mereka yang mengaku sebagai kita berjumlah besar dan terbukti telah mendukung pemenang pilpres.


    Marta Mahardika peneliti di Skala Prioritas Institute/detikcom

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " KAMI Bukan Kita? "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg