• Islam di Jawa: Tuyul, Mbah Suro, dan Mitos Jokowi Ke Kediri

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Selasa, 18 Februari 2020
    A- A+

    KORANRIAU.co-Pada tahun pertengahan 1980-an ada berita soal seminar yang bikin heboh. Kala itu akan digelar seminar tentang tuyul. Tak ayal berita yang tersebar di koran itu bikin heboh. Ramai orang bergunjing. Terjadilah pro konrta, dari yang sekedar menganggap sebagai lucuan hingga yang serius melalui kajian ilmiah.

    Pada dua dekade sebelumny atau menjelang pertengahan dekade 1960-an, yang bikin heboh lagi pun ada. Masih ingat sosok Mbah Suro dari Lereng Gunung Lawu. Ramalannya yang kala itu sangat dipercaya masyakarat Jawa yang ada di sekitar Solo.  Bahkan bisa dikatakan Mbah Suro menjadi tokoh penting spiritualitas Jawa. Ramalannya menjadi mitos. Nasihatnya banyak dijadikan rujukan. Layaknya sosok dongeng orang sakti di kisah 'Api di Bukit Menoreh' karya SH Mintardja, dia pun mendirikan padepokan. Orang pun berjejal 'sowan' ke tempat tinggalnya.

    Mitos yang terkenal saat itu dari Mbah Suro mengatakan baju merah harus hati-hati alias berbahaya bila dikenakan. Uniknya ramalan dia kemudian agak masuk akal karena identitas warna merah yang disematkan sebagai lambang PKI.

    Celakanya lagi, PKI ini kemudian kala itu melakukan petualangan pemberontakan dan kalah. Terjadilah perang saudara. Darah bertumpah di mana-mana. Solo dan Jawa Tengah hingga Jawa Timur mayat bergeletakkan bagai pohon pisang rebah dan hanyut di sungai. Mbah Suro ditembak mati dengan dua peluru menembus badannya oleh pasukan RPKAD yang memburunya.

    Pada zaman kerajaan dahulu juga ada mitos yang terus hidup sampai sekarang. Misalnya mitos soal perang Bubat yang terkait kekalahan Padjaran dan kematian Putri Dyah Pitaloka oleh Gajah Mada dari kerajaan Majapahit.

    Akibat bentrok pasukan yang disebut terjadi di tengah lapangan Bubat itu, di Bandung sempat tak punya nama jalan bernama Majapahit. Untunglah masyarakat di sana lapang dada. Di era Gubenur Jawa Barat Ahmad Heryawan,  Kota Bandung yang berada di tatar Sunda kini memiliki Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk.

    “Hari ini adalah gong dari rekonsiliasi budaya Jawa-Sunda, Sunda-Jawa. Kita resmikan nama Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk di Kota Bandung, Jawa Barat,” ujar Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dalam rilisnya, Jumat (11 Mei 2018).

    Sama halnya dengan Bandung yang sudah terjadi rekonsilasi dan berhasil menghilangkan mitos, di Jawa pun serupa. Di wilayah yang dekat dengan pusat budaya Jawa, yakni di Jogjakarta nama jalan bernama Pajajaran pun telah ada. Nama jalan itu tepatnya berada di simpang empat Jombor, Mlati, Sleman.

    Di benak orang Jawa, mereka juga punya mitos lain yang kini tak terbukti. Hal itu adalah adanya 'perjanjian agung' tanah Jawa yang dilakukan sepasang abdi raja terakhir Majapahit: Naya Genggong dan Sabdo Palon. Dalam perjanjian itu dinyatakan setelah 500 tahun ke depan agama Budha kembali menjadi agama yang dianut masyarakat Jawa.

    Celakanya, ramalan ini 'jauh panggang dari api'. Kalau mitos Bubat hapus setelah 600 tahun, kini 500 tahun setelah Majapahit runtuh ramalan atau perjanjian Sabdo Palon dan Naya Genggung tak terlaksana. Uniknya, yang membantah bukan orang Jawa atau orang Indonesia. Yang membantah adalah 'Wong Londo', yakni mendiang Indonesianis asal Australia MC Ricklef.

    Dalam buku karyanya yang bertajuk 'Mengislamkan Jawa' Ricklef malah menyatakan Jawa hari ini dan ke depan akan semakin Islam (semakin merasuk Islamnya). Tak hanya itu, tak ada kemungkinan akan balik kembali.

    Ricklef mencontohkan banyak hal yang memberi kesimpulan bila ramalan Sabdo Palon dan Naya Gengggong tak terjadi. Ini misalnya dengan meluasnya  fenomena jilbab yang kian marak di setiap pelosok Jawa. Bahkan budayawan Emha Ainun Nadjib mengistilahkan dengan 'Lautan Jilbab'.

    Ibu-ibu di perdesaan Jawa yang pada tahun 1970-an kala itu jarang atau tidak ada yang mengenakan jilbab sewaktu pergi kondangan. Tapi kini malah berbanding terbalik. Hampir semua ibu mengenakannya. Rambut digelung pakai cemara dan dibungkus 'harnet' dan perempuan memakai kain dalam acara resepsi menjadi pemandangan langka.

    Bahkan, gaya rias pengantinnya Jawa sekrang sudah modifikasi dengan mengenakan kerudung. Sosok seperti gaya berpakaian kerudung Mbak Tutut Soeharto dalam acara resepsi pernikahan putranya beberapa hari lalu, menjadi salah satu contohnya. Tutut tetap anggun dan 'Njawani' memakai kain kebaya dan kerudung.

    Selain itu, dalam gurauan bersama mantan Wakil Ketua MPR yang kini menjadi duta besar RI di Lebanon, Hajriyanto Y Tohari, ada yang menarik dan lucu. Kala itu dia berkata salah satu jasa dari Clifford Geertz  yang menulis disertasi tentang 'Agama Jawa', adalah ketelitiannya dalalam menyebutkan nama-nama makhluk halus dalam kepercayaan Jawa. Tak hanya Tuyul, Geertz mampu menyebutkan nama hantu-hantu yang lain, misalnya pocong, kuntillanak, kemamang, gundul plengis, tektekan, dan lainnya.

    ''Ada puluhan bisa disebutkan Gertz nama hantu-hantu itu. Ini luar biasa karena Geerts itu orang Amerika,'' kata Hajriyanto dengan terbahak.

    Alhasil, janganlah terlalu heran, bila sosok sekelas Pramono Anung percaya akan mitos lama Jawa: Presiden akan jatuh bila berkunjung ke Kediri. Dan memang Pramono Anung boleh percaya kutukan Raja Singhasari Kertanegara ketika oleh  Raja Kediri terbunuh dan turun dari takhtanya.Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada tahun 1292 M.

    Namun, mitos ini telah ditepis oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dia terbukti telah melanggar mitos atau pamali itu. Kala Gunung Kelud meletus SBY dengan ringan hati mengunjungi para pengungsi di Kediri. Setelah itu SBY tetap bertahan selama 10 tahun menjadi presiden. Dia tak lengser atau dilengserkan dari istana.republika/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Islam di Jawa: Tuyul, Mbah Suro, dan Mitos Jokowi Ke Kediri "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg