• Kampanye Kedaulatan di Natuna

    E d i t o r: redkoranriaudotco
    Published: Kamis, 09 Januari 2020
    A- A+

    KORANRIAU.co- Kedaulatan merupakan suatu hal terpenting yang harus dimiliki oleh setiap negara di dunia. Kedaulatan juga merupakan sebuah bagian dari harga diri suatu bangsa dan negara yang telah berdiri secara de facto. Namun, di tengah "kampanye" yang dilakukan oleh China di Laut Natuna Utara atau yang disebut Nanyang oleh Bangsa China lampau, pemerintah Indonesia terus berupaya konsisten menegakkan kedaulatan NKRI di wilayah tersebut.

    Hadirnya kapal penangkap ikan dan cost guard China ke perairan Natuna Utara beberapa waktu lalu merupakan bentuk nyata ancaman kedaulatan NKRI yang patut menjadi perhatian khusus. Mengingat kejadian tersebut bukanlah kali pertama terjadi, setidaknya pada 2016 lalu kejadian serupa juga terjadi. Dalam kasus kali ini, Presiden Joko Widodo telah bersikap tegas dengan menyatakan tidak ada kesempatan untuk tawar-menawar mengenai kedaulatan. Hal tersebut tampak pada pernyataannya sebelum memulai rapat terbatas mengenai RPJM 2020-2024, Selasa (7/1) lalu.

    Penegasan tersebut juga ditambah dengan kehadiran Presiden Joko Widodo ke Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT), Kabupaten Natuna, Rabu (8/1). Terlebih Presiden juga melakukan aktivitas membagikan sertifikat tanah kepada sekitar 81 ribu penduduk di Natuna sebagai simbol Natuna adalah Indonesia. Setidaknya langkah yang dilakukan oleh pemerintah tersebut kembali menegaskan fungsi kedaulatan kita sebagai negara, yaitu menentukan hukum dalam suatu negara.


    Namun, muncul pertanyaan akan kedaulatan Indonesia di Laut Natuna Utara yang telah dikampanyekan kembali oleh Presiden Joko Widodo, yaitu apakah kehadiran Presiden di Natuna secara langsung, membagikan sertifikat tanah, serta menambah pasukan patroli akan berhasil melindungi kedaulatan Indonesia dari para pencuri yang masuk ke wilayah perairan Natuna Utara, khususnya China? Hal ini tentu akan menjadi pertanyaan besar, mengingat Indonesia pada 14 Juli 2017 sebenarnya telah mengeluarkan peta terbaru atas nama Laut China Selatan berubah menjadi Natuna Utara, dan peta tersebut sudah didaftarkan ke PBB.

    Namun, pada faktanya China tetap berpegang pada klaim tradisional atas perairan Natuna Utara menggunakan Nine Dash Line hingga saat ini. Sedikit atau banyak armada laut China yang memasuki Natuna Utara tentu mengganggu keamanan nasional Indonesia.

    Keamanan Nasional dan Regional

    Klaim yang dilakukan China berdasar Nine Dash Line tentu menjadi perhatian serius mengingat klaim tersebut hanya didasarkan pada sejarah tradisional yang dibuat pada 1947 dan melanggar konvensi UNCLOS yang di dalamnya juga terdapat China sebagai negara yang mengakui konvensi tersebut. Dalam kaitan dengan kedaulatan, Nine Dash Line merupakan ancaman nyata bagi keamanan nasional Indonesia, sebab sebuah negara harus dapat memberikan keamanan dalam wilayah geografisnya sendiri, baik ancaman dari dalam maupun dari luar teritorialnya.

    Saat ini Indonesia mendapatkan ancaman oleh klaim sepihak China dan telah merugikan Indonesia, dalam hal ini para nelayan yang mencari ikan di perairan Natuna Utara. Keamanan nasional telah menjadi hak absolut dari sebuah negara untuk mengelola dan melakukan berbagai tindakan yang dianggap sebagai ancaman. Selain itu, hal ini juga merupakan bagian dari langkah koersif seperti yang diutarakan oleh Frederidk Hartman (1967), yang menyatakan bahwa keamanan merupakan sebuah akumulasi dari kepentingan nasional yang vital dari sebuah negara. Maka dari itu, berbagai upaya yang saat ini dilakukan oleh pemerintah merupakan langkah nyata untuk menciptakan keamanan bagi segala hal yang berada di wilayahnya.

    Klaim Nine Dash Line tidak hanya merugikan Indonesia, namun juga beberapa negara lain, yaitu Filipina. Dengan klaim sepihak China atas Laut China Selatan bahkan telah diadili Pengadilan Arbitrase dan klaim tersebut ditolak karena tumpang tindih pula dengan wilayah perairan Vietnam, Brunei, Filipina, Taiwan, dan Malaysia. Dengan adanya permasalahan tersebut sebenarnya telah mengganggu stabilitas keamanan yang berada di wilayah ASEAN secara tidak langsung, sehingga keamanan regional ASEAN dengan adanya Nine Dash Line juga terancam selama klaim tersebut terus dipegang oleh China meskipun konvensi UNCLOS sudah diratifikasi oleh negara-negara ASEAN.

    Dalam konteks tersebut, sebenarnya terdapat pola yang sama di antara negara-negara ASEAN yang terdampak Nine Dash Line, yaitu sama-sama dapat mempertahankan keamanan nasional masing-masing negara untuk mempertahankan keamanan regional ASEAN, yang disebut Barry Buzan (2003) sebagai fenomena security complex. Buzan mengutarakan bahwa terdapat sekelompok negara yang memiliki perhatian mengenai keamanan nasional yang secara bersama terkait satu sama lain di mana untuk mewujudkan keamanan nasional masing-masing negara tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lain.

    Negara yang terdampak Nine Dash Line sebenarnya dapat meningkatkan kerja sama di perairan Laut China Selatan agar potensi ancaman oleh klaim China dapat diminimalisasi. Dengan memberikan respons yang sama dengan Indonesia, negara lain yang terdampak dapat membentuk pola amity yang diistilahkan Buzan dalam fenomena security complex. Pola amity sendiri adalah hubungan antarnegara yang terjalin berdasarkan dari rasa persahabatan hingga pada harapan akan mendapatkan dukungan atau perlindungan satu sama lain.

    Kerja sama mengenai Laut China Selatan bukanlah hal yang tidak mungkin terjadi di antara negara ASEAN, sebab klaim tersebut akan selamanya ada selama China tetap berpegang teguh pada hak tradisional yang dibuatnya pada 1947 tersebut.

    Aspek Historis

    China selalu mengklaim bahwa Nine Dash Line merupakan aturan sah yang mengatur garis imajiner perairan laut China sejak lampau. Untuk membuktikan hal tersebut, Indonesia juga harus memiliki bukti sejarah yang menandakan bahwa pada masa lampau wilayah Natuna Utara juga masuk ke dalam bagian yang tidak dapat terpisahkan dari bangsa Indonesia sejak imperium Nusantara hingga menjadi sebuah negara.

    Laut China Selatan yang disebut oleh Bangsa China lampau sebagai Nanyang, atau "tanah di bawah angin" oleh orang India, Persia, Arab, dan Melayu sejak dahulu merupakan daerah strategis tempat mobilisasi perdagangan. Braudel (1966) dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, Jilid 1: Tanah di Bawah Angin karya Anthony Reid mengatakan bahwa lautan tengah Asia Tenggara sebagai suatu tempat pertemuan dan lalu lintas yang lebih ramah serta menarik dibandingkan dengan Laut Tengah yang lebih dalam dan lebih berbadai di Barat.

    Meskipun memiliki kesan yang baik sebagai jalur perdagangan strategis bagi sebagian negara Asia Tenggara, Cina, Arab, India, dan Eropa, menariknya tidak hanya keharmonisan yang tampak perdagangan yang muncul, namun juga ketegangan yang muncul diakibatkan oleh adanya faktor kekuatan untuk mendominasi perdagangan di wilayah tersebut.

    Dalam sejarah memang bangsa China memiliki naskah-naskah dokumen yang mendukung aktivitas perdagangan maupun hal lain yang dilakukan khususnya di wilayah Asia Tenggara. Aspek sejarah negara-negara di wilayah Asia Tenggara ditengarai menjadi titik lemah sehingga klaim China atas Laut China Selatan tetap berjalan. Hal tersebut juga sudah diutarakan oleh Onghokham (2014) bahwa di Indonesia, dan mungkin juga di negara-negara Asia Tenggara lainnya, ilmu sejarah dan sejarawan agak dianaktirikan, dianggap tidak relevan dan tidak dirasakan sebagai kebutuhan untuk mengenal dirinya, dan bahkan lebih jauh lagi mereka menolak untuk mengenal dirinya.

    Dengan kelemahan tersebut, tampaknya klaim yang saat ini China kampanyekan juga tidak dapat terpisahkan dari peristiwa sejarah yang pernah dilakukan pada masa lampau, yakni mengamankan hal strategis bagi keuntungan negara China serta keamanan nasionalnya, terlebih negara-negara yang berada di bawah klaim Nine Dash Line tidak memiliki naskah sejarah yang utuh.

    Bagaimana Indonesia harus bersikap? Setidaknya Indonesia sudah melakukan hal yang penting, yaitu mengubah peta Indonesia dengan melepaskan istilah Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara pada 2017. Perubahan tersebut meskipun tidak diakui oleh China, namun memiliki dampak luas bagi sejarah maritim Indonesia ke depannya. Dengan perubahan tersebut, Indonesia sudah bersikap dengan tegas akan kedaulatan yang dimilikinya, sehingga tidak boleh ada kedaulatan lain yang mengganggu kedaulatan ke dalam Indonesia.

    Pemerintah saat ini harus terus mengkampanyekan kepada dunia bahwa wilayah yang diklaim oleh China merupakan wilayah teritorial Indonesia yaitu bernama Laut Natuna Utara, sehingga semua pihak juga harus menghormatinya, termasuk peta online seperti di Googlemaps yang saat ini masih tertulis Laut China Selatan.

    Selain itu, langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini selain memprioritaskan keamanan nasional di wilayah Natuna Utara, yaitu dengan melakukan hubungan bilateral atau multilateral, khususnya di wilayah Asia Tenggara harus lebih diperkuat. Sehingga klaim China akan memiliki dampak minimal terhadap masing-masing kedaulatan di negara wilayah ASEAN.detikcom/nor

    Subjects:

    Kolom
  • No Comment to " Kampanye Kedaulatan di Natuna "

INFO PEMASANGAN IKLAN HUB 0812 6670 0070 / 0811 7673 35, Email:koranriau.iklan@gmail.com yLx3F0.jpg