PEKANBARU, KORANRIAU.co - Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) tidak mengagendakan rapat atau musyawarah membahas permintaan Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau Jikalahari) Made Ali kepada LAMR agar mengusir Kapolda Riau dari Bumi Lancangkuning ini, sehubungan dengan tindakan jajaran Polda Riau yang dianggap represif dalam menangani unjuk rasa berbagai komponen masyarakat dan mahasiswa, Kamis (8/10/ 2020).
Demikian pernyataan bersama Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAMR Datuk Seri H. Al azhar dan Ketua Umum Dewan Pimpinan Harian LAMR Datuk Seri Syahril Abubakar menjawab pertanyaan berbagai pihak tentang sikap LAMR menanggapi permintaan Made Ali yang disampaikan baik melalui tulisan (di media sosial, media online, dan media cetak), maupun secara lisan (sewaktu datang berkunjung ke Balai Adat Melayu Riau pada pagi Jumat (9 Oktober 2020).
“Kami belum mengagendakan, dan rasanya tidak akan mengagendakan pembahasannya,” kata Al azhar.
Menurut dia, dalam mengambil keputusan, LAMR berpedoman pada alur, patut, dan layak. Permintaan Made Ali tersebut, menurut beliau tidak sesuai dengan alur, sebagai pertimbangan dasar mengambil keputusan adat, lebih-lebih keputusan yang bermuatan sanksi.
“Kapolda Riau itu pejabat negara, menjalankan tugas negara yang dibebankan kepadanya. Tidak pada alurnya, atau bukan kewenangan LAMR menjatuhkan sanksi kepada seseorang atas tindakannya dalam menjalankan tugas resmi negara,” tegas beliau.
“Oleh karena itu, apabila ada pihak yang menganggap seorang pejabat negara ketika melaksanakan tugasnya tidak sesuai dengan prosedur, atau menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku di NKRI, maka seharusnya permintaan pemberian sanksi itu ditujukan kepada yang berwenang untuk itu, sesuai dengan hukuman atau peraturan negara yang mengatur hal tersebut,” saran Al azhar.
Prihatin
Sikap LAMR sendiri terhadap UU Cipta Kerja (Omnibus law) tersebut masih dirumuskan, karena sampai hari ini (Ahad, 10 Oktober 2020) LAMR belum memperoleh dokumen sahihnya, untuk dipelajari secara mendalam.
“Yang jelas, LAMR tidak mau kepentingan masyarakat terabaikan, terutama yang menyangkut kedaulatan masyarakat adat, nasib pekerja, dan pendidikan,” kata Datuk Seri Syahril Abubakar.
Sementara yang berkaitan dengan kerusuhan yang terjadi dalam unjuk rasa berbagai komponen masyarakat di Provinsi Riau yang menolak pengesahan UU Cipta Kerja pada hari Kamis tanggal 8 Oktober 2020, Datuk Seri H. Al azhar dan Datuk Seri Syahril Abubakar sama-sama menyatakan keprihatinan yang mendalam.
Menurut keduanya, pro-kontra terhadap pengesahan UU Cipta Kerja tersebut sangat dipahami. Unjuk rasa sebagai ekspresi pro maupun kontra itupun sah serta sudah menjadi instrument perjuangan di alam demokrasi.
Namun, keduanya sepakat, unjuk rasa tak perlu anarkhis, sebab anarkhis akan selalu berhadapan dengan kontra-anarkhi. Kalau sudah begitu, substansi yang diperjuangkan melalui unjuk rasa itu pun dengan mudah bergeser ke hal-hal lain, di samping mencederaia dab dan adat Melayu yang menjadi teras budaya negeri ini.
“Kita sepakat, Riau ini negeri Melayu. Ke-Melayu-an sejati negeri ini ditunjukkan oleh keseharian kita sebagai warga negeri ini, baik ketika kita bersendiri, ketika bersama keluarga, maupun ketika kita berada di ruang umum,” pungkas Al azhar. (rilis)
No Comment to " Permintaan Usir Kapolda: LAMR Tidak Agendakan Pembahasan "